08 - Tahlil Nenek

18 1 0
                                    

Tahlil Nenek berjalan lancar hingga hari ke-7, para saudara pun sudah berubah sikap padaku dari yang acuh tak acuh jadi saling peduli satu sama lain. Seperti Om Iki, anak dari Wa Eca kakaknya Mama. Ia menawarkan ku untuk diantarkan ke kampus saat ada jadwal mendadak saat posisi Pak Ali masih di Jakarta. Satu persatu kami merasakan kehangatan keluarga yang sebenarnya, ternyata keluarga Mama lebih sering kumpul bersama lebih tepatnya makan-makan. Jika lama-lama di Bogor badanku bisa membengkak nih, Karina saja sudah naik 2kg. Padahal baru 7 hari loh, kami kadang makan bersama sambil nangis karena teringat Nenek. Saat hari terakhir aku dan Karina sedang menggiring koper ke mobil untuk pulang ke Jakarta, lalu datang seorang tamu wanita paruh baya dengan nada tinggi bertanya keberadaan Mama. Aku langsung mengantarnya ke dalam rumah, ternyata wanita itu mengamuk pada Mama.

"Ibu kok datang-datang mengamuk, menunjuk-nunjuk muka saya."

"LU MAU PURA-PURA GAKENAL SAMA GUE HAH?."

"Langsung ke intinya saja, Ibu ada perlu apa kesini?."

"Karena Ibu lo si penghalang itu udah mati GUE MAU CUCU GUE, KARINA!."

What the..kok Ibu itu menyebut Karina cucunya sih. Apa dia ODGJ atau gimana sih? aku dan Karina jadi kebingungan begini, karena ia terus mengamuk tidak jelas terpaksa diseret keluar, namun...

"BERHENTI." Karina menjerit meminta Ibu itu dilepaskan dan menjelaskan apa yang ia maksud tentangnya, sebelumnya ia telah memaksa Mama untuk menjelaskan namun tidak ada jawaban. Ibu itu mengaku bahwa Karina adalah anak dari Mama dan Putranya yang dahulu kekasih Mama. Hp yang Karina pegang seketika jatuh, lalu ia ambil kembali dengan tangan bergetar dan menjauh dari kami, ternyata ia menghubungi Papa.

"Tenang Nak..selesai meeting Papa langsung ke Bogor ya sayang." Terdengar suara Papa dari ponsel.

Aku mencoba menenangkan Karina yang terus berbicara dengan Mama menggunakan nada tinggi sambil menarik-narik baju Mama meminta ungkapan fakta yang sebenarnya. Lalu ia dipeluk paksa oleh Ibu itu, sontak Karina melepaskannya dengan kasar hingga Ibu itu terpental ke kursi.

"Ini Oma cucuku sayang." Ucap Ibu itu merintih.

Berjam-jam ia merengek di lantai sambil menunggu Papa, siapapun yang merangkulnya pasti ia dorong kuat-kuat begitu juga aku. Situasinya sangat tidak karuan, apalagi untuk aku si anggota keluarga baru. Akupun menghampiri Mama yang sedang merenung di kamarnya dan berusaha untuk bicara dengan Mama mengenai masalah yang terjadi. Namun hasilnya malah aku yang dimarahi, bertanya pada Kak Dena pun ia bilang tidak tau apa-apa. 1 jam 30 menit berlalu akhirnya Papa pun datang, ia langsung terkaget melihat keadaan sekitar dengan suara lantang ia bertanya lalu dengan sigap merangkul Karina dan ia tidak menolak saat tau itu Papa. Namun saat Karina berhasil bangun tangan Papa langsung ditepis oleh Ibu itu, ia marah karena cucunya dipegang oleh pria yang bukan muhrim. Papa pun kebingungan, ia bertanya siapa Ibu itu kepada Kak Dena, belum sempat Kak Dena menjawab Ibu itu dengan percaya diri mengaku ialah Oma Karina. Menerima jawaban itu wajah Papa langsung memerah kedua tangannya mengepal lalu menuju kamar Mama dengan emosi membara.

"ERI CEPAT KELUAR ADA APA INI? KARINA? NENEK-NENEK ITU ?." Teriak Papa lalu menarik paksa Mama sekuat tenaga menuju ruang tengah dimana kami berada. Tidak ada yang tau kebenaran dari masalah ini bahkan keluarga Mama. Ketika semua orang memaksa Mama bicara, ia akhirnya jujur kepada kami.

"Iyaa Karina emang anak Eri sama Mas Arya, dulu saya nikah sama Mas Yarif karena paksaan almh ambu dan saat akad saya itu sudah keadaan hamil 3 minggu SAYA TERPAKSA MENIKAHI PRIA KAYA INI." Mama menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya sambil menunjuk Papa.

Karina seketika pingsan lalu dipangku oleh Om Iki ke kamar. Tak kuat melihat drama ini, aku menangis tersedu-sedu mengingat pernyataan Mama tadi. Aku mengadu nasib pada Kak Dena dan Om Iki, mengapa aku dilahirkan oleh keluarga penuh problema. Baru kemarin aku bertemu keluarga kandung, lalu orangtua kandungku malah bercerai dan sekarang seorang adik yang aku sayang itu tidak sedarah denganku. Bukan aku saja, pasti sangat berat juga bagi Karina melewati fase ini, aku berjanji akan selalu ada di sisinya. Semua rasa gengsi aku hilangkan, demi menjaga adik kecilku yang besar. Saat aku mengusap kening dia dan menyampingkan rambutnya dari mata, terdengar suara Papa, Mama, dan Ibu yang mengaku Oma Karina. Sesekali mereka berbicara dengan suara lantang, tak lama terdengar suara seseorang membuka pintu kamar ternyata itu Papa. Ia mengajakku pulang sekarang juga, awalnya aku menolak karena ingin menjaga Karina namun ia tetap memaksa menarik tanganku menuju mobil.

"Pah..Karina itu adik aku, gabisa aku ga temenin dia di saat terberat dia." Aku menangis di mobil.

Papa menghiraukan pembicaraanku, terlihat wajah kesalnya yang belum hilang. Aku lebih baik diam, takut Papa emosi kepadaku. Sepanjang jalan aku hanya memainkan kuku sambil menunggu balasan pesan dari Kak Dena seputar kabar Karina. Ia mengabariku bahwa Karina sudah bangun, namun tak henti menyesali nasib. Di tengah perjalanan Papa berbicara sepatah kalimat, bahwa aku memiliki 2 Mas dan 1 Mba yang sedarah denganku lalu ia berjanji akan menemukanku dengan mereka.

-Bersambung-

4 TersayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang