Part 3 : Menemukan Rival

17 8 0
                                    

Selama perjalanan mereka, Saka lebih banyak berbicara tentang pengalamannya selama mengembara sedangkan Asa lebih banyak diam dan sesekali menjawab jika ditanya. Sebenarnya Asa itu tipikal orang yang tidak mudah akrab jika bersama orang yang baru dikenalnya apalagi setelah aksi kasar laki-laki yang katanya berusia 30 tahun di sebelahnya.

"Asa, kamu mendengarkan aku 'kan?" Saka bertanya pada Asa dengan pertanyaan yang hampir sama yang kelima kalinya.

Asa memutar bola matanya merasa lelah. "Iyah, Saya masih mendengarnya."

"Tapi, jika boleh menyarankan. Sebaiknya Tuan Saka berhenti bicara dan fokus pada perjalanan kita," ujar Asa menambahkan.

"Kamu benar. Tapi, aku tidak suka berdiam diri seolah kita ini musuhan. Kamu tidak menganggapku orang asing lagi 'kan?" Saka tiba-tiba menghentikan kudanya.

Sedangkan Asa terus berjalan sebelum berhenti beberpa meter di depan Saka dan membalikkan kudanya. "Tidak. Saya ingin bertanya pada Tuan. Apa kita mengambil jalan yang benar?" tanya Asa.

"Kurasa sudah benar."

"Kurasa?" Asa menatap Saka tak percaya. "Sebaiknya Anda membuka petanya lagi." Asa pun memberikan gulungan kertas kuning yang berupa peta pada Saka setelah berjalan mendekat.

Saka menerimanya. Kemudian mengelus peta sebanyak tiga kali dan mengucapkan. "Tunjukan kami jalannya."

Tiba-tiba gulungan itu terbuka dan mengeluarkan cahaya. Membuat Saka dan Asa sempat menutup mata karena silau. Setelahnya terlihat jalan juga gambar-gambar tempat di kertas kuning itu.

"Ini peta sirah. Peta ajaib yang menyimpan jalan-jalan menuju tempat-tempat terlarang," jelas Saka dan Asa mengangguk-angguk saja. Keduanya ikut melihat peta. Saka melihat peta itu dengan serius sementara Asa terlihat bingung karena ia tak bisa membaca peta.

"Kita sudah melewati perbatasan desa, seharusnya sebentar lagi kita sampai," gumam Saka.

"Seharusnya jangan bilang kita tersesat, atau Tuan tidak bisa membaca peta?" Saka mencebik kesal.

"Bisakah kamu tidak memanggilku Tuan, Tuan dan Tuan. Aku bukanlah Tuanmu tahu." Akhirnya Saka mengeluarkan kekesalannya sedari tadi. "Dan aku bisa membaca peta. Tidak mungkin seorang pengembara tidak bisa membaca peta." Saka berujar sinis.

"Ya sudah. Kalau begitu, ke arah mana kita akan pergi, Saka?" sahut Asa dengan nada yang sama.

Saka tersenyum. "Bagus, sekarang kamu ikuti aku. Kalau bisa kejar aku."

"Tunjukan keahlian berkudamu," tantang Saka. Lalu, dengan curang ia memacu lebih dulu kudanya membelah hutan belantaran di mana tempat mereka berada saat ini dan meninggalkan Asa sendirian.

"Hei Saka, Anda curang!" Asa meneriaki Saka sambil menyentakkan tali kekang kudanya membuat kuda coklat miliknya berlari mengejar Saka yang berada di depan.

Aksi saling mengejar satu sama lain pun tak terhindari keduanya meliuk-liuk di dalam hutan lebat penuh dengan pepohonan rimbun yang berusia berpuluh-puluh tahun banyak bantang pohon menjalar ke sana-sini membuat keduanya melopat, menunduk menghindari semua rintangan menunjukkan keahlian berkuda mereka yang sama-sama ahli.

Sadar atau tidak semakin dalam mereka memasuki hutan sinar mentari semakintertutup dedaunan lebat hutan. Saat keduanya melewati sungai dangkal, airnya berlompatan ke sana ke mari membuat tawa keduanya keluar dan saling memaki satu-sama lain. Hingga diujung hutan keduanya bersiap melompati ranting besar yang tinggi. Satu ... Dua ... Tiga.

The Silver AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang