"Rasa empati itu ada di setiap orang. Kalau kamu ada di posisiku mungkin kamu juga akan melakukan hal yang sama sepertiku. Jangan salahkan dirimu sendiri atas apa yang orang lain lakukan. Karena sebenarnya orang lain juga ingin ditolong olehmu."
(Asa)
—
Saka bergegas pulang ke rumah setelah kejadian memalukan itu. Ia benar-benar sudah gila mengejar gadis yang mirip Asa, padahal ia tahu Asa masih koma. Dengan langkah yang gontai, Saka membuka pintu rumah Kakek Sakti dan segera menuju bilik tempat Asa terbaring.
"Minggir!" Sentak Saka dengan sorot mata yang dingin pada Robin yang baru saja menjaga Asa.
Dengan patuh ia pergi dari sana dan bergabung dengan kawan-kawannya. Sedangkan Saka duduk di kursi kayu dekat ranjang Asa. Laki-laki itu langsung menggenggam tangan Asa dengan erat seolah ia akan kehilangan saat itu juga.
Kakek Sakti yang hendak masuk ke dalam biliknya terkejut melihat Saka sudah kembali setelah pergi tanpa pamit. Sebenarnya ia ingin mengganti perban Asa yang lama dengan yang baru.
"Kamu sudah kembali? Cepat sekali," ucapnya begitu sampai.
Saka langsung menoleh menatap Kakek Sakti sinis. "Memang ada masalah?" tanyanya.
Kakek Sakti menggeleng sambil tersenyum geli. "Tidak, aku hanya ingin mengganti perbannya saja." Matanya melihat kain putih yang ia sudha siapkan juga obat ramuannya.
Saka yang melihat itu langsung merebutnya. "Biar aku saja, paman pergi sana!" bisiknya mengusir.
"Baiklah, anak muda. Jangan melakukan macam-macam padanya. Jika iya aku tidak akan menganggapmu keponakanku!" balasnya berbisik kemudian pergi dari sana.
Sekarang di bilik sempit ini tersisa dua orang saja. Saka menatap peralatan obat di tangannya lalu beralih memandangi Asa yang masih menutup rapat matanya. Matanya fokus pada luka yang berada di bagian perut Asa.
Dengan telaten, Saka menyibak perban lama yang menutupi luka Asa dan segera mengolesinya dengan tumbukan tanaman obat yang telah diramu Kakek Sakti. Kemudian memasang perban yang baru. Setelah semuanya selesai, Saka segera membereskan semuanya dan kembali lagi ke dalam bilik menjaga Asa.
"Sa, jangan buat aku gila. Cepatlah sadar dan keluarkan ocehan pedasmu itu."
"Aku tak bisa bayangkan bagaimana ayahmu tahu hal ini."
***
"Sa, jangan buat aku gila. Cepatlah sadar dan keluarkan ocehan pedasmu itu."
"Aku tak bisa bayangkan bagaimana ayahmu tahu hal ini."
Suara itu terdengar sedih, Asa mengenalinya. Siapa lagi kalau bukan Saka si Laki-laki beruang. Dengan cepat gadis itu berdiri lalu berteriak lantang membalas, "Saka, tolong aku!"
"Aku mohon datang ke sini. Aku takut ...," cicitnya sambil menangis lagi.
Sayang lagi-lagi tak berhasil, tubuhnya masih enggan. Namun sesuatu di depannya membuatnya kembali bersemangat.
"Ayah kumohon bertahanlah di sana!"
***
Siang sudah berganti malam, namun Asa belum juga siuman. Saka masih setia di sampingnya menggenggamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Silver Apple
FantasyHai! Aku Asa dan ini adalah kisahku, banyak hal yang harus aku lalui demi buah penyembuh yang sangat legendaris dan hampir semua orang mengatakan itu adalah mitos. Tapi aku percaya buah penyembuh itu Ada. Demi kesembuhan ayahku aku rela melakukan ap...