Part 9 : Dirampok

4 2 0
                                    

"Asa!" Saka berteriak panik sambil membawa butelan miliknya di punggung. Laki-laki itu menghampiri Asa yang tak sadarkan diri dekat kereta kuda miliknya.

Dengan tergesa Saka memasukan obat racikannya ke dalam mulut Asa dan meminumkannya dengan air biasa. Tak lama setelahnya Asa pun tersadar. Mata lentiknya mengerjap-ngerjap beberapa kali.

"Saka," panggil Asa.

"Me-mereka merampok kita." Saka mengangguk membenarkan.

"Sudah kuduga."

"Dasar bocah tengil," makinya.

"Ayo!" Saka membantu Asa berdiri dan memapahnya kemudian mendudukkan di dalam kereta.

"Oh iya, peta sirah tidak hilang 'kan?" tanya Saka pada Asa.

Asa segera memeriksanya ke dalam kantong dalam rompinya. "Ada." Lalu gadis itu pun memberikannya pada Saka. "Syukurlah."

Sekarang Saka membuka lagi peta sirah itu. "Tunjukan kami jalannya."

Cahaya putih menyilaukan pun keluar lalu menunjukan keberadaan para perampok itu.

"Ini," Saka memperlihatkan pada Asa.

"Apa yang akan kita lakukan?"

"Merampas balik." Saka tersenyum licik yang di balas hal yang sama oleh Asa.

"Apa rencananya?" tanya Asa penasaran.

"Kita lihat nanti malam. Sanggupkah perampok-perampok cilik itu melewati kabut ini." Saka tersenyum angkuh sambil menggulung kertas berisi peta itu.

***

"Hari ini kita berjaya kawan-kawan!" sorak Robin pada kawan-kawannya yang kini tersenyum sumringah.

"Hari ini kita harus merayakannya, Robin!" sahut salah satu teman robin yang memakai baju merah.

"Kamu benar! Kita akan merayakan keberhasilan kita dengan makan sepuasnya di warung makan!" balas teman lainnya yang memakai baju ungun dengan tubuh pendek.

"Aku tidak setuju! Lebih baik kita membuka usaha. Setelah barang-barang rampokan kita terjual," sahut laki-laki berpakain kuning.

"Sudah, sudah! Benar apa kata Lingga. Kita gunakan ini untuk usaha sisanya kita gunakan untuk merayakan bagaimana?" tanya Robin pada teman-temannya.

Semua teman-temannya mengangguk. Tanpa di diduga mereka berempat sedang diawasi dua dari atas pohon dua pasang mata itu terus mengikuti mereka.

Malam semakin larut kabut pun semakin lama semakin tebal. Robin bersama kawan-kawannya terus berjalan pulang dengan senter sebagai penerangan. Namun di pertengahan jalan ketiga bocah itu merasa mata mereka berat. Kini mereka semua berjalan lunglai hingga akhirnya terjermbab sendiri.

Di atas pohon dua pasang mata itu tersenyum setelah menebarkan serbuk pengantar tidur di sekitar mereka.

"Ayo. Kita bereskan," ujar salah satu pasang mata itu pada temannya.


Begitu selesai mengikat ketiga bocah tengil itu mereka berdua tidak pergi membawa kuda rampokan. Melainkan menunggu para bocah itu bangun.

The Silver AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang