Part 22 : Dihadang

1 0 0
                                    

Di tempat lain,

Seseorang mengandalkan mantel tebalnya, gadis berkucir kuda bertahan di atas pohon pinus yang bergoyang-goyang kencang. Ketakutan dan kedinginan bercampur menjadi satu. Dengan kuat ia menancapkan diri memeluk batang pohon pinus besar setelah mengingkatkan tubuhnya dengan sang pohon. Dengan gigi gemeletuk dan bibir yang membiru juga wajah yang pucat, sekuat tenaga gadis itu bertahan.

Satu jam, dua jam, tiga jam tenaga gadis itu melemah. Perlahan tubuhnya kaku berangsur membeku kemudian jatuh ke bawah. Hampir saja tubuhnya hancur dari ketinggian 15 meter dari tanah. Seseorang datang tepat waktu menangkapnya.

"Seperti yang kuduga kamu tidak menurut." Seseorang itupun pergi dari sana membawa gadis itu.

***

"Gadis yang keras kepala," gumam Kakek Sakti yang semalaman merawat Asa.

Sedangkan Saka menghembuskan napas kemudian meraup wajah lalu meminum sebotol air yang di bawanya. Udara luar masih sangat dingin namun badai salju sudah berhenti sejak dua jam lalu. Saka mempererat mantel tebalnya sambil melempar kayu kering ke dalam api yang mereka buat semalam. Api yang semula kecil kembali berkobar, memberi kehangatan di sekitarnya.

Dalam benak laki-laki itu, ia tak habis pikir Asa akan semudah itu kabur dari penjagaan Robin dan kawan-kawan. Mengingat dirinya sempat melatih bocah-bocah itu selama Asa koma. Bagaimana bisa mereka lengah?

Huft. Sudahlah itu sudah terjadi, batinnya berucap.

Sekarang pandangan Saka turun ke wajah pucat milik Asa, bibirnya sudah tak sebiru saat ia temukan. Laki-laki itu mendekatkan telapak tangannya ke rambut hitam milik Asa, ia mengelusnya perlahan seolah Asa adalah benda yang mudah rapuh. Saking rapuhnya ia tak ingin menyakiti apalagi mengecewakan gadis itu.

Entah sejak kapan perasaan itu ada. Saka pun tak mengerti dengan dirinya bahkan perasaannya sendiri. Bagaimana gadis ini tahu perasaan yang sebenarnya.

Kepala Saka menggeleng kuat.

"Kamu seharusnya tidak melakukannya." Saka memegang jantungnya yang merasa sesak sendiri.

"Hasilnya, begini. Tapi, sekarang tidak papah. Ini lebih baik," gumamnya sambil menggenggam nyaman jemari Asa yang agak dingin.

Kakek Sakti yang melihat itu semua tersenyum simpul. Laki-laki tua itu merasa senang jika keponakannya kembali seperti dulu. Ia pun memilih bangkit dari duduknya kemudian berjalan mendekati Saka.

"Aku pergi keluar sebentar, ada tanaman obat di sekitar sini." Saka sedikit terkejut dengan Kakek Sakti yang tiba-tiba berkata seperti itu.

Laki-laki muda itu hanya mengangguk memberikan izinnya. "Hati-hati." Suara Saka tak terdengar lagi begitu keluar dan bersatu dengan udara.

Belum lama Kakek Sakti pergi, Saka sudah mendengar sesuatu yang tidak beres di luar gua ketika ia membereskan peralatan mereka untuk bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Ia pun memutuskan keluar untuk melihat apa yang terjadi.

Baru saja ia keluar, seseorang berpakaian serba hitam menodong pisau tajamnya kearah lehernya.

"Terkejut?" tanyanya.

Saka meresponsnya dengan delikan tajam ke arah orang yang menodongnya. Sementara di depan mereka terjadi pertarungan antara Kakek Sakti dengan sosok bertopeng yang kemarin mengejar mereka.

The Silver AppleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang