Anandita Ranum Dahayu, gadis cantik yang telah beranjak dewasa kini lebih sering menyendiri daripada harus bergabung dengan teman-teman sebayanya. Bola matanya yang berwarna coklat itu tak lepas dari buku yang berada di depannya. Gadis dengan rambut bergelombang dan kulit putih itu sibuk dengan buku dan pulpen di depannya.
Ranum kini bersekolah di SMA Dasar Negara dan duduk di kelas sebelas IPS A. Ranum satu sekolah dengan Anala hanya saja Anala berada di kelas dua belas IPA A. Sebenarnya ia tidak mau satu sekolah dengan gadis yang arti dari namanya adalah api, tapi mau bagaimana lagi yang menyekolahkannya hanyalah Dewi. Devi mengalami gangguan jiwa sejak Hanis meninggal dunia. Jadi satu-satunya yang bisa menyekolahkan Ranum hanyalah Dewi. Untungnya Ranum masih tinggal bersama ibunya meski harus kewalahan karena terkadang Devi histeris secara tiba-tiba.
Anindita Anala Putri, sikap Anala tidak pernah berubah. Justru ia semakin gencar melakukan perundungan terhadap Ranum karena kini Ia bergabung menjadi bagian dari geng turun temurun di Sekolahnya, yaitu geng three bastards yang telah ada lima tahun sebelum Anala memasuki masa SMA. Anala tumbuh menjadi gadis cantik dengan rambut yang senantiasa terurai.
Di angkatannya, geng ini diisi oleh Anala, Chaca, dan Sinta. Sebenarnya geng ini diisi oleh siswi-siswi populer dan terkenal konyol, lucu dan selalu menyebarkan tawa di setiap angkatannya, namun entah mengapa di angkatan Anala geng ini diisi oleh orang-orang yang sifatnya persis seperti arti dari nama gengnya.
Ranum mendongak saat pulpennya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Dan benar saja orang tersebut adalah Anala, "beliin es teh manis, gue tunggu lo di sini!" Seru Anala. Ranum menghela berat tapi tetap saja ia menuruti kemauan saudara tirinya. "Tiga gelas!" teriak Anala saat Ranum telah berjalan hingga di ambang pintu.
Ranum hanya mengangkat jari jempolnya lalu pergi ke kantin, tempat yang sangat tidak ia sukai. Dua tahun terakhir tepatnya saat ayahnya telah meninggal dunia Ranum menjadi orang yang tidak menyukai keramaian. Menurutnya keramaian hanya mendatangkan kesedihan. Ranum berdiri menunggu orang-orang yang sejak tadi berdiri di depannya Kurang lebih lima menit menunggu akhirnya Ranum berada di antrean paling depan.
"Es teh manis tiga gelas," ucapnya.
Ranum berjalan di tengah sembari membawa tiga gelas es teh manis pesanan Geng three bastards. Ranum menyodorkan es tehnya begitu saja lalu kembali menatap buku harian yang ada di depannya.
"Gak punya sopan santun lo sama senior?"
Ranum memutar bola mata jengah. Kapan ia bisa hidup tenang tanpa tiga iblis yang duduk di depannya ini. "Pesanan lo udah ada, tunggu apa lagi? Ini bukan kelas kalian kan? Atau kalian mau menetap di kelas sebelas?" Ledek Ranum. Ranum tersenyum manis, "dengan senang hati kalian bertiga gue terima di kelas sebelas," lanjutnya.
Ranum kembali membuka buku harian dengan sampul hello Kitty itu lalu membaca setiap tulisan yang telah ia buat. Kepala Ranum mendongak saat merasakan sebuah kertas mengusik ketenangan otaknya. Dan lagi-lagi teman sekelas Ranum yang sangat-sangat Ranum benci melempar sebuah kertas ke arah Ranum.
"Tolol! Mau aja di suruh-suruh!"
"Lemah banget sih!"
"Kasihan, cuma jadi babu."
"Beliin gue es teh juga, gih. Panas nih!"
"Si bego, dengar gak sih, beliin kita juga!"
Dan berbagai cacian keluar dari mulut teman-teman sekelasnya. Sayangnya Ranum tak bisa berbuat apapun selain diam dan membiarkan teman-temannya kelelahan sendiri.
****
Tangan putih milik Ranum mengambil serpihan kaca. Devi mendorong begitu saja piring yang ada di tangan Ranum.
"Kamu Anala bukan Ranum!" Gretak Devi.
"Iya Bu."
Tepat setelah proses pemakaman Hanis, Devi mengalami gangguan jiwa sehingga membuatnya mudah emosi. Tak hanya itu Ia juga sangat membenci saat orang-orang menyebutkan nama Ranum. Betapa hancur hati Ranum saat ibu kandungnya sendiri memanggilnya dengan nama Anala.
"Ranum itu pembawa sial! Gara-gara dia suamiku meninggal! Anak gadis gak tau diri!" Devi selalu menganggap bahwa Ranum adalah penyebab kematian dari Hanis sehingga Ia sangat benci ketika mendengar nama Ranum.
"Iya Bu, ini Anala kok ibu tenang aja di sini cuma ada Anala," ucap Ranum lalu membuang beling-beling bekas pecahan piring. Ranum kembali mengambil nasi dan ikan goreng, "ibu makan dulu yah, biar Anala yang suap."
Devi memeluk tubuh Ranum, "Anala jangan tinggalin ibu yah, tetap sama ibu." Ranum hanya mampu menahan tangis saat satu-satunya pemberi kebahagiaan di dalam hidupnya menganggapnya orang lain. Tangan putihnya itu mengelus puncak kepala ibunya. Rambut yang kusut itu tetap menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Ranum.
Setidaknya Ranum bersyukur masih ada bagian dari keluarganya tersisa meski bagian dari keluarganya itu tidak pernah menganggapnya ada. Setidaknya ada satu alasan yang membuatnya bertahan untuk hidup di dunia. Ia tidak peduli se-benci apapun Devi padanya Ranum tetap menganggapnya ibu. Devi adalah satu-satunya alasan bagi Ranum untuk bertahan, seandainya Ranum tidak memiliki rasa kasih sayang kepada Devi, sudah sejak dulu Ranum mengakhiri hidupnya. Ranum tak dapat membayangkan jika Devi tidak ada, hidupnya benar-benar seperti debu.
Ranum selalu bersyukur, jika ibunya tidak lagi ingin mengingat namanya setidaknya Ranum dapat melihat wajahnya. Hanya itu satu-satunya yang dapat Ia syukuri, ia masih bisa melihat Devi saat terbangun dari tidurnya meski Devi menganggap Ranum sebagai Anala.
Ranum menarik napas panjang, "Anala gak akan tinggalin ibu kok. Anala tetap di sini, tapi ibu makan dulu yah?" pinta Ranum.
Devi mengangguk lalu mulai memakan tiap suapan nasi yang Ranum berikan. Suapan yang Ia anggap berasal dari Anala.
Ranum menatap pantulan wajahnya di bak air setelah menyelesaikan tugasnya. Devi telah kenyang dan tertidur pulas, Ranum dapat menangis sekeras mungkin meluapkan setiap emosi yang telah ia pendam Berjam-jam. Rutinitas yang selalu Ia lakukan saat Devi telah tertidur.
Ranum mengambil air yang berada di bak berwarna merah itu lalu membilas wajahnya agar air mata yang ia keluarkan larut bersama dengan air. Entah kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga ia berengkarnasi menjadi sosok gadis yang hidupnya penuh dengan kesialan.
Bahkan saat malam telah tiba Ranum tidak dapat memejamkan matanya. Ia tidak pernah bisa tertidur pulas semenjak kematian Hanis. Hatinya diselimuti rasa bersalah sekaligus khawatir jika Devi mengikuti jejak Hanis.
Ranum selalu berpikir bahwa kehidupan yang ia jalani sejak usianya menginjak lima tahun hanyalah mimpi, namun jika itu hanya mimpi mengapa ia tidak pernah bisa terbangun. Setiap pagi ia awali dengan senyuman berharap kehidupan kemarin tidak nyata namun tetap saja semakin hari kehidupannya semakin buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Dari Ranum
Short Story"Pada akhirnya aku menyadari bahwa kehadiran mu hanyalah ilusi yang aku ciptakan." gadis cantik dengan masa lalu kelam, Ranum. Wajah yang selalu teduh saat dipandang itu memiliki trauma yang mendalam yang membuat hidupnya saat ini kian terombang-amb...