"Happy birthday, Ranum"
"Happy birthday, Ranum"
"Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Ranum!"
Suara tawa yang begitu kencang terdengar jelas di halaman belakang kelas sebelas IPS A. Mereka tertawa saat berhasil mengikat tubuh Ranum di bawah pohon beringin besar yang tumbuh dibelakang kelas mereka. Ranum hanya pasrah saat orang-orang berteriak tepat di telinganya menyanyikan lagu happy birthday.
Ranum menutup matanya saat tepung, telur, dan sampah basah mengguyur badannya. Di usianya yang menginjak enam belas tahun rasanya beban hidupnya tak berkurang sedikit pun. Bahkan bebannya bertambah berat saat ini karena teman sekelasnya kini berlaku seenaknya pada Ranum.
Chika memegang dagu Ranum saat Ranum hanya mampu menggerakkan kepalanya. "Selamat ulang tahun!" Teriaknya tepat di depan wajah Ranum. "Lo suka gak surprise yang kita kasih?" Ranum tak menjawab, ia masih menutup matanya.
"Lo tuli?" tanya Naomi, "kita udah capek-capek lho cari tali goni, nyari tepung, telur bahkan sampah basah ini kita capek-capek ngumpulin dari rumah ke rumah. Masa gak senang?"
"Gue gak minta."
"Lo emang gak pernah minta, tapi kita peka, kita tau apa yang lo mau," jawab Naomi.
"Gue gak butuh ini, kok. Gue cuma mau satu hari aja kalian memperlakukan gue layaknya manusia normal."
"Emang lo manusia normal?" tanya Chika.
"Menurut kalian?" tegas Ranum, "kalian gak bisa lihat kalau gue normal. Gue gak butuh apa-apa dari kalian, tapi gue mohon satu hari aja kalian gak mengusik kehidupan gue bisa gak?" Suara Ranum bergetar menahan tangis yang telah berkumpul di pelupuk matanya.
Alis Naomi menyatu seolah iba dengan kalimat yang Ranum lontarkan, "Lo gak nyadar kalau lo gak normal? Lo cuma dijadiin babu sama Kak Anala, lo suka duduk di pojokan sambil nulis dibuku hello Kitty yang buluk itu. Itu udah tanda-tanda bahwa lo gak normal."
Chika melipat kedua tangannya di depan dada, "lo juga gak pernah bisa bergabung dengan kita yang jelas-jelas teman sekelas lo." Chika kembali memajukan wajahnya di depan Ranum, "oh iya, nyokap lo juga gila kan?" Chika, Naomi dan teman-teman sekelas Ranum tertawa keras, "lo pikir kita gak tau. Sebenarnya gue kasihan sih sama lo...."
"Gue gak butuh dikasihani sama orang kayak lo!" Sela Ranum.
"Masa sih?"
"Padahal kita mau bantu, tapi ternyata lo gak mau," ucap Naomi.
"Apa kita bawa nyokap Ranum ke rumah sakit jiwa?" ledek Chika.
"Sekalian aja sama Ranum, soalnya dia kayak punya gangguan kejiwaan juga!"
Suara tawa yang menjengkelkan itu membuat jiwa Ranum semakin tersiksa. Ia lebih baik mengulang tahun yang lalu saat teman-temannya tidak peduli dengan ulang tahunnya daripada diingat namun hadiahnya seperti ini.
Ranum benar-benar tersiksa dalam keadaan seperti ini. Ia ingin melawan namun tak mampu, ia ingin menangis namun tak ingin terlihat lemah. Ia hanya mampu menahan air matanya agar tidak terjatuh dan berusaha terlihat tegar padahal dirinya sangat hancur bahkan sebelum ini terjadi ia telah hancur terlebih dahulu.
"Balik ke kelas yuk!" seru Chika.
Tanpa melepaskan ikatan Ranum, Chika dan kawan-kawan meninggalkannya. Ranum menatap langit yang mulai abu-abu dan perlahan rintikan hujan mulai turun membasahi tubuhnya yang mulai berbau. Rasanya sangat tenang saat air matanya jatuh bersamaan dengan hujan yang perlahan turun. Ia bisa menangis sepuasnya tanpa terlihat lemah di bawah hujan. Meski ia tidak begitu suka dengan hujan, namun di saat seperti ini ia butuh hujan. Ia butuh semesta tau bahwa ia telah hancur, ia butuh tetesan itu mengalir dari kepala hingga ujung kakinya agar air matanya tidak terlihat. Ranum berharap hujan turun dengan deras sekarang, namun sayangnya tetesan air itu hanya jatuh dengan pelan. Sepertinya memang benar, semesta tidak pernah mau mengabulkan permintaan Ranum.
"Astaga Neng! Kok bisa di sini?" Untungnya sebelum hujan turun dengan deras Bu Rima-pembersih sekolah menemukan Ranum yang terikat di bawah pohon. Setelah ikatannya terlepas Ranum dapat bernapas lega, "mau saya anterin ke koperasi beli seragam baru?"
Ranum menggeleng, "gak usah bu, saya juga gak punya uang buat beli seragam baru. Pakai ini juga saya udah nyaman."
"Oh iya kayaknya di lemari yang ada di gudang ada seragam. Pakai itu aja dulu dari pada yang ini, udah bau basah lagi."
"Boleh Bu."
*****
Seluruh pandangan mata menatap ke arah Ranum yang terlambat lima menit di pelajaran Bu Ririn. Bu Ririn terkenal galak di SMA Dasar Negara, terlambat satu menit saja ia tidak akan mengikut sertakan siswanya yang terlambat ke dalam kelas.
"Yang suruh kamu masuk kelas siapa?" tanya Bu Ririn. Ranum yang semula berjalan menuju kursinya menghentikan langkahnya. "Kenapa diam? Dari mana aja kamu?"
"Saya abis ganti baju, Bu. Baju saya basah," jawab Ranum.
"Gak ada yang nyuruh kamu main hujan-hujan. Sekarang kamu keluar dari kelas saya!" Bentak Bu Ririn. Mau tak mau Ranum memilih keluar disaat pembelajaran terakhir.
Ranum menunggu di teras kelasnya sambil sesekali mendengarkan materi yang Bu Ririn paparkan agar ia tidak ketinggalan pelajaran.
Tak terasa satu jam berlalu seluruh siswa berlarian tidak sabar merasakan sedapnya masakan rumah, sedangkan Ranum ia tidak memikirkan kondisi perutnya, jika Devi sudah kenyang maka ia juga ikut kenyang.
"Sini lo!" Tiba-tiba Anala menarik lengan Ranum diikuti oleh Chaca dan Sinta. Mereka berhenti di mobil berwarna putih tepatnya mobil milik Chaca, "masuk!"
Mau tidak mau Ranum duduk di kursi penumpang bersama Sinta. Ranum nampak ketakutan namun sebisa mungkin ia berusaha tenang.
"Happy birthday, Ranum." Ucap ketiganya lalu menyodorkan kue tart kepada Ranum.
Ranum mengerutkan keningnya. Tidak salah!? Seorang Anindita Anala Putri mengucapkannya selamat ulang tahun. Orang yang jiwanya seperti iblis memberikan sebuah kue tart pada Ranum. Bagai petir di siang bolong Ranum berharap ini hanya mimpi. Mulut Ranum terbuka lebar benar-benar tak menyangka.
"Kok bengong doang sih! Ini lilinnya gak mau ditiup, keburu Maghrib nih!" ujar Sinta.
Bibir mungil Ranum meniup lilin yang berada di atas kue tart tersebut. Ketiganya bersorak gembira saat lilin itu telah padam. Anala mengeluarkan pisau plastik untuk memotong kue dengan motif hello Kitty tersebut.
"Suapan pertama untuk siapa?" tanya Anala setelah Ranum memegang potongan kuenya.
"Ha?"
"Ishh buruan kasih suapan pertama untuk siapa, kita kan juga mau makan, lapar nih!" geram Chaca.
Ranum menyuap Anala dengan potongan kue tart tersebut dengan tangan yang bergetar. "Makasih atas kue nya, Kak Anala."
Ketiganya tertawa saat Ranum mengucapkan terima kasih, " santai aja kali, kayak sama siapa aja ngomong terima kasih."
"Soalnya ini pertama kali lo ngasih surprise buat gue, sampai beliin kue lagi," jawab Alana.
"Masa sih? Emang gue sejahat itu sama lo?"
Sejujurnya Ranum masih mengingat saat kejadian bersama Reza adalah campur tangan Anala namun untuk saat ini ia tidak akan mengungkit hal tersebut. Apalagi Anala terlihat berubah, jauh lebih baik dari Anala yang kemarin, bahkan jauh lebih baik dari Anala yang Ranum temui tadi pagi.
"Sekarang, kita bertiga pengen bawa lo ke suatu tempat," ujar Sinta, "Anala, let's go!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Dari Ranum
Short Story"Pada akhirnya aku menyadari bahwa kehadiran mu hanyalah ilusi yang aku ciptakan." gadis cantik dengan masa lalu kelam, Ranum. Wajah yang selalu teduh saat dipandang itu memiliki trauma yang mendalam yang membuat hidupnya saat ini kian terombang-amb...