20. sebenarnya kita apa?

6 0 0
                                    

Enam hari sudah Ranum tidak mengunjungi rumah Aksa. Bukan tanpa alasan, akhir-akhir ini keduanya sama-sama sibuk menjelang ujian akhir semester satu. Tugas kelompok, tugas individu, praktikum, dan sejenisnya sangat menguras waktu mereka berdua. Bahkan dua puluh empat jam dalam satu hari terasa sangat singkat.

Devi membawa nampan berisi roti ke meja makan dimana Ranum masih sibuk dengan buku-bukunya yang tergeletak begitu saja di atas meja. Devi pulang tiga hari yang lalu dari rumah sakit, kata dokter kondisinya sudah sangat kondusif. Namun Devi masih harus terus di kontrol.

"Makan dulu, kasihan kalau Aksa datang harus nungguin kamu," ucapnya lalu menyuapi Ranum dengan sepotong roti.

"Bentar lagi, Bu."

Saat rotinya hampir habis saat itu juga tugasnya telah selesai. Ia segera merapikan buku-bukunya lalu menunggu Aksa di teras rumah sambil memakai sepatu.

Piiiipppp.....

Suara klakson motor Aksa terdengar sangat nyaring membuat Devi yang mendengarnya menyusul ke luar.

"Bu, berangkat dulu," pamit Ranum saat Devi keluar.

"Tante, berangkat dulu yah."

Devi mengangguk. Aksa melajukan motornya dengan cepat. Aksa menatap ranum dari spion motor, gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Tangan Aksa terulur kebelakang mencari tangan Ranum, setelahnya tangan Ranum ia tuntun agar dapat memeluknya. Aksa dapat melihat senyuman Ranum melalui spion. Senyuman yang tercipta karena perlakuan baik Aksa.

Hanya setengah perjalanan tiba-tiba ada yang aneh dengan motor Aksa. Keduanya turun dari jok motor, keduanya saling tatap lalu menghela napas bersamaan saat ban belakang motor Aksa bocor. Entah dosa apa yang mereka lakukan pagi ini, padahal sepuluh menit lagi bel berbunyi dan jarak menuju sekolah masih ada sekitar satu kilometer.

"Lo cari angkot aja, biar gue yang nyari bengkel terus nyusul ke Sekolah," saran Aksa.

Ranum menggeleng, itu bukan ide yang bagus, "gak mau, kita berangkat bareng-bareng, gak mungkin gue ninggalin lo sendirian."

Aksa berdecak. "Nanti lo di hukum kalau telat."

"Terus kalau lo telat emangnya gak bakalan di hukum?"

"Seenggaknya lo gak di hukum. Kalau gue sih gak pa-pa kalau di hukum."

"Pokoknya gak mau, gue gak bakal ninggalin lo sendirian. Kalau lo dorong motor, gue juga ikut."

Aksa mendorong motornya, mencari bengkel paling dekat namun ia dan Ranum tak kunjung menemukannya. Padahal sudah hampir sepuluh menit mereka berjalan. Mereka menyerah, punggung keduanya bersandar dibatang pohon.

"Gak sekolah dek?"

Keduanya melihat ke arah sumber suara. Seorang bapak-bapak dari dalam angkutan umum berhenti di depan mereka.

"Ban motor kita bocor pak," jawab Aksa.

"Itu bengkel di belakang kalian."

Aksa dan Ranum menoleh bersamaan, seorang pemuda dengan wajah bantal tersenyum ke arah mereka. Keduanya menghela kasar. Mungkin sejak tadi mereka berdua tidak menyadari bahwa mereka telah melewati banyak bengkel.

"Lo kok gak lihat ada bengkel sih?" tanya Aksa.

"Mana sempat gue perhatiin, gue kira lo bakalan lihat."

"Gue ngandelin lo buat lihat bengkel, sejak tadi lo senyum-senyum gak jelas sepanjang kita jalan. Lo jatuh cinta nih kayaknya." Aksa menggerutu kesal.

"Ayo naik, kalian udah telat banget nih!" Seru sopir angkutan umum tersebut.

Dialog Dari RanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang