24. Pergi

2 0 0
                                    

Ranum terbangun saat suara mixer mengganggu pendengarannya. Saat keluar dari kamar, pemandangan pertama yang Ranum lihat adalah Devi yang sedang membuat bolu kukus. Hari ini Devi resmi memulai hidup baru, membuka usaha dan melupakan segalanya tentang Hanis. Ia menyadari kesalahannya dimasa lalu, maka dari itu mulai hari ini ia ingin memperbaiki segalanya. Menjadi ibu yang baik untuk Ranum sekaligus teman untuk putri semata wayangnya.

"Maaf yah, ibu ganggu tidur kamu."

Ranum mengulas senyuman, "enggak, biasanya juga bangun jam segini."

Devi tersenyum kecut. Ia merasa bersalah, banyak hal yang tidak ia ketahui tentang Ranum.

"Bahkan ibu gak tau jam bangun tidur kamu," gumamnya.

Ranum berjalan cepat menuju area jemur di belakangnya rumahnya, dengan seragam dan handuk berwarna merah jambu di bahu kirinya. Jam telah menunjukkan pukul enam lima belas dan ia harus berusaha mencari kaos kakinya yang baru. Kaos kaki yang kemarin ia pakai terlalu bau karena dipakai seharian.

Setelah mendapatkan kaos kaki putih di jemuran, Ranum kembali berjalan cepat melewati dapur menuju ruang tamu. Devi sampai geleng-geleng kepala saat Ranum berjalan sangat cepat.

"Jangan buru-buru, Aksa juga sering lambat jemput kok!"

"Hari ini gak bareng Aksa!"

Ranum berteriak dari ruang tamu. Decakan kesal keluar dari bibir Ranum saat melihat bagian tumit kaos kaki itu robek. Ia akui bahwa sudah lama ia tidak berbelanja keperluan Sekolah wajar saja jika kaos kakinya telah robek. Dari pada tidak ke Sekolah sama sekali, ia lebih memilih memakai kaos kaki dengan bolongan yang berada di tumit itu.

Kening Ranum mengkerut saat ada sesuatu yang janggal di ruang tamunya. Sebuah foto terpajang di meja yang terletak di pojok ruang tamu. Bukan foto keluarga yang pernah membuat Aksa bertanya-tanya. Tapi ini foto Ranum dan Devi. Hanya berdua, tanpa Hanis, Dewi, Dan Alana. Ranum mengulas senyum. Ia tidak pernah merasa meletakkan foto itu di sana, bahkan ia lupa bahwa semasa kecil ia pernah berfoto dengan Devi.

Ia menyadari bahwa ia tidak butuh Anala, Dewi, dan Hanis dalam hidupnya. Memulai lembaran baru dengan kepribadian baru Devi rasanya sudah cukup bagi Ranum. Ia berulang kali mencoba mengakhiri hidupnya, namun kehadiran Devi selalu menghalangi gadis itu. Ia selalu berpikir bagaimana Devi hidup dengan gangguan mental tanpa ada dia di sampingnya. Dan sekarang Ranum tidak memiliki alasan untuk mengakhiri hidupnya, karena Devi telah melewati masa sulitnya. Ia ingin hidup lebih lama bersama Devi, menghadapi banyak hal bersama layaknya seorang anak dan ibu.

Ranum mencium punggung tangan Devi sebelum berlari ke jalan besar, menunggu angkutan umum menjemputnya. Tak butuh waktu lama, angkutan umum berwarna merah berhenti di depannya tepat saat ia berhenti berlari. Ranum menjadi penumpang ke lima di dalam angkutan umum. Matanya menoleh ke kaca belakang, melihat motor Aksa berbelok menuju rumahnya. Tak bisa dipungkiri ada perasaan bersalah di dalam hatinya, namun hanya ini yang bisa ia lakukan untuk melupakan perasaan konyol yang tumbuh di hatinya. Ia akui bahwa ia egois dan tidak tau diri, meninggalkan Aksa saat ia tidak butuh lagi cowok itu. Namun kenyataannya Ranum selalu butuh Aksa, Ranum butuh Aksa untuk tetap menetap di hatinya.

Angkutan umum berwarna merah itu berhenti tepat di depan gerbang SMA Dasar Negara. Pak Bambang yang telah berdiri sejak tadi pagi melemparkan senyuman ke setiap siswa yang masuk. Ranum menyadari bahwa di belakangnya ada Aksa yang mengendarai motor dan siap memarkirkan motornya dengan rapih.

"Ranum!"

Ranum berjalan cepat.

"Ranum, kamu kok menghindar!"

Ranum melangkah semakin cepat.

"Ranum, jangan pergi!"

Gadis itu masih melanjutkan langkahnya.

"Kita sama-sama butuh Ranum, aku juga butuh kamu. Jangan pikir karena keadaan kamu udah lebih baik kamu jadi menghindar."

Ranum berhenti tanpa menoleh.

"Aku butuh kamu. Aku mau kamu tetap di sini. Aku mau kita tetap jadi teman!"

Ranum menoleh, "sampai kapan?" Aksa bergeming. "Sampai Rayn sembuh dan setelah itu kita gak temenan lagi? Aku hancur, Aksa. Aku hancur saat aku tau bahwa perasaan kita beda. Dan aku lebih hancur lagi saat tau bahwa setiap kali kamu melihat aku, yang kamu lihat adalah Rayn."

"Justru itu kemarin aku jelasin semuanya!"

"Seandainya kamu jelasin dari awal kita ketemu aku gak akan berekspektasi tinggi, Aksa!"

"...."

"Aku cuma mau lupain kamu. Aku cuma mau perasaan konyol ini hilang dan kita bisa berteman tanpa perasaan."

"Sampai kapan?"

Ranum menggeleng, "aku gak tau..."

"Aku yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku, yang lebih pantas untuk kamu...."

"Siapa? Laki-laki mana? Bahkan aku gak percaya sama ayah ku sendiri, Aksa. Satu-satunya laki-laki yang aku percaya di dunia ini ya kamu. Aku gak maksa untuk memiliki kamu, tapi aku mohon kasih aku ruang untuk menerima semuanya. Semuanya terjadi tiba-tiba dan aku masih gak bisa ngerti."

"Kasih aku ruang." Suara Ranum melemah, "kasih aku waktu untuk menerima semuanya, setelah itu kita kembali lagi."

Mulut Aksa seolah terkunci. Tak ada lagi sanggahan yang akan ia keluarkan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti keinginan Ranum meski itu terasa sangat berat. Bahkan saat ia merencanakan untuk memberi kejutan pada Ranum, otaknya sama sekali tidak berpikir bahwa hal ini akan terjadi. Ranum akan kembali menjauh, ia sama sekali tidak menduga hal ini. Aksa mengangguk, kakinya melangkah mundur sebelum akhirnya tubuhnya berbalik menjauhi Ranum.

*****

Kini Ranum berada di ruangan yang hanya berisi peralatan medis. Ranum tidak sendiri, ia memiliki teman. Namun diantara keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya terdengar suara monitor yang membuat ruangan itu tidak hening.

Perlahan Ranum melangkah menuju bed dimana temannya terbaring lemah. Teman yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya, namun memberikan pelajaran yang sangat berharga. Ranum tidak membenci Rayni, sama sekali tidak. Justru keberadaan Rayni membuatnya banyak belajar.

"Rayni."

Ranum memulai pembicaraan meskipun ia tau gadis yang ia ajak berbicara tidak akan peduli.

"Kamu hebat, Rayn. Kamu pintar, kamu peduli, kamu memiliki hati yang baik. Harusnya aku gak perlu kaget kalau kamu akan tumbuh menjadi seseorang yang baik karena Tante Tari juga baik, Rayn. Persis seperti kamu."

"Kalau aku minta kamu bangun aku egois gak yah?"

Lagi-lagi ucapan-ucapan yang seharusnya menjadi dialog hanya berakhir menjadi sebuah monolog. Tidak ada yang menyanggah apalagi menjawab kalimat-kalimat yang terus Ranum lontarkan.

"Kita baru kenal, tapi aku boleh gak minta kamu bangun. Temani Aksa, Aksa butuh kamu, Rayni. Buat Aksa bahagia dengan kehadiran kamu."

Hening.

"Aku gak bisa gantiin posisi kamu."

Ranum menyeka tetesan air yang perlahan membasahi pipinya. Sebuah tetesan, namun semakin lama kian menderas.

"Banyak yang sayang sama kamu, jangan buat mereka sedih. Jangan buat mereka mencari seseorang yang bisa menggantikan kamu."

Lutut Ranum terasa sangat lemas. Bahkan kini tubuhnya telah terjatuh di lantai putih yang tak bernoda. Tangisannya semakin menjadi-jadi, bahkan kini tangisan itu tak lagi bersuara. Kini ia mengerti bagaimana Aksa yang terus merasa kehilangan sosok Rayni. Ia mengerti bagaimana Aldi kehilangan sosok kakak perempuan dan berharap Ranum akan menggantikan sosok kakak perempuan yang ia harapkan.

Sosok dibalik pintu ruangan berwarna putih itu tak sanggup melangkah masuk ke dalam ruangan. Sejak lima menit yang lalu ia hanya berdiri memandang dua perempuan yang wajahnya tak jauh berbeda dari jendela ruangan itu. Ia tidak mendengar jelas apa yang Ranum katakan pada Rayni, namun tak sanggup rasanya melihat dua orang yang ia sayangi sama-sama lemah.

Dialog Dari RanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang