21. Dia

2 0 0
                                    

Aksa dan Ranum sama-sama membisu. Ranum terus menatap langit abu-abu diatasnya sedangkan Aksa menatap sepatu sekolah yang masih ia kenakan. Aksa beranjak dari jembatan tempat ia dan Ranum berdiri, entah kemana, Ranum juga tidak tau. Namun perasaan gadis itu mengatakan bahwa Aksa pasti membeli es kopi susu.

Sepulang sekolah mereka tidak saling bicara sama sekali. Sepertinya ucapan Ranum di laboratorium membuat keduanya terasa canggung. Lamunan Ranum buyar saat di hadapannya ada es krim. Ranum menoleh melihat Aksa yang berdiri disampingnya. Tangan kanannya memegang es kopi susu dan tangan kirinya menyodorkan es krim.

"Lo gak mau minum es kopi susu karena takut gak bisa tidur kan? Makanya gue beliin es krim."

Ranum tersenyum, ternyata tidak ada yang berubah dari Aksa. Cowok itu masih mencintai es kopi susu.

"Mendung, tapi ngajak minum es," ucapnya sembari membuka bungkus es krim.

Aksa terkekeh. Seperti biasa apapun yang Aksa berikan padanya selalu salah dimata Ranum. Keheningan terjadi beberapa saat, hanya suara seruputan es dan kendaraan yang menemani mereka di pinggir jembatan.

"Aku minta maaf, Ranum." Tiba-tiba ada yang berbeda dengan kalimat yang Aksa gunakan.

"Aku?" Ranum mengernyit bingung, ia tidak tau mengapa Aksa tiba-tiba menggunakan kata 'aku."

"Iya, aku minta maaf. Maaf kalau aku cuma bisa anggap kamu teman, maaf udah bikin kamu berharap, dan maaf kalau aku gak bisa balas perasaan kamu."

"Mungkin belum bisa, bukan gak bisa," ucap Ranum.

"Gak bisa, Ranum. Aku gak bisa. Sekeras apapun kamu mencoba gak akan bisa. Aku cuma mau nemenin kamu. Aku cuma mau bikin kamu bahagia. Aku mau nemenin kamu menemukan laki-laki yang cinta sama kamu, dan laki-laki itu bukan aku."

Suara napas Ranum terdengar sangat jelas di telinga Aksa. Ia tau bahwa gadis itu mati-matian menahan tangisnya. Namun Aksa tidak tau harus melakukan apa. Ia berhasil menyembuhkan luka di hidup Ranum tapi ia kembali membuat luka baru.

Ranum tidak boleh menangis. Ia berhasil berada di titik ini karena Aksa, ia tidak boleh mengecewakan Aksa, ia tidak boleh menyalahkan cowok itu karena pengorbanan yang Aksa lakukan lebih dari segalanya. Ia terbiasa mendapatkan luka yang lebih perih dari ini, ia tidak boleh menangis hanya karena goresan sekecil ini.

"Aku ngerti. Aku bakalan lupain semua perasaan aku, aku tau ini gampang." Bohong. Bahkan untuk mengucapkan kalimat itu suara Ranum terdengar bergetar. Ini tidak akan menjadi hal yang mudah baginya.

Aksa mengusap puncak kepala Ranum, "lupain yah? Aku gak mau nyakitin kamu, jadi aku mohon lupain perasaan kamu. Aku masih mau kita temenan."

Aku gak mau nyakitin kamu, tapi kenyataannya, Aksa terlanjur menyakiti Ranum. Ranum kembali teringat akan kata-katanya, bahwa semua orang baru yang hadir di hidupnya hanya membawa masalah. Tapi kali ini berbeda, Aksa datang membawa kebahagiaan dan luka disaat yang bersamaan.

Usapan di puncak kepala Ranum berubah menjadi pelukan. Aksa memeluk Ranum sangat erat berusaha meyakinkan gadis itu bahwa melupakan perasaan cinta terhadap seseorang adalah hal yang mudah. Namun kenyataannya disituasi seperti Ranum justru terjatuh semakin dalam. Bagaimana bisa ia tidak jatuh cinta pada laki-laki yang datang membawa kebahagiaan di hidupnya? Bagaimana bisa ia melupakan perasaannya begitu saja sedangkan tidak ada alasan untuk tidak mencintai Aksa? Aksa terlalu sempurna untuk tidak dimiliki.

"Selamat ulang tahun, Aksa," bisik Ranum.

"Bukannya besok?"

"Aku mau jadi yang pertama."

"Kamu udah jadi yang pertama, yang pertama ngajarin aku untuk berbuat baik sama orang. Makasih udah kasih kesempatan berharga untuk selalu ada di samping kamu dan jadi teman kamu."

Dialog Dari RanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang