19. kesembuhan

2 0 0
                                    

Dunia itu berputar, dulu Ranum tidak pernah percaya akan kalimat tersebut. Saat orang-orang berkata bahwa dunia itu berputar Ranum justru percaya bahwa dunia hanya berjalan lurus, semakin dunia berjalan maka semakin besar masalah yang akan datang. Namun hari ini Ranum percaya bahwa dunianya telah berputar, tak ada lagi tangisan dimalam hari yang membuat matanya bengkak saat pagi, tak ada lagi nama 'Anala' yang memanggilnya setiap hari, dan tak ada lagi buku hello Kitty. Ranum tersadar sudah beberapa pekan ia meninggalkan buku hello Kitty nya. Buku yang selalu menemani sedihnya.

"Ranum, kamu udah mau berangkat sekolah, Nak?" tanya Devi yang dijawab anggukan oleh Ranum. "Gak usah nyuap-in ibu, ibu udah bisa makan sendiri, kamu ke sekolah aja biar gak telat."

"Iya, Bu," jawab Ranum lalu mencium punggung tangan Devi.

Wanita paruh baya itu memperhatikan kepergian Ranum hingga suara decitan pintu tak lagi terdengar atau punggung anak gadisnya tak terlihat lagi. Devi meneteskan air matanya, dirinya diselimuti rasa bersalah sejak kemarin, mengapa ia melupakan fakta bahwa yang selalu ada untuknya hanyalah Ranum. Padahal Devi tau betul bahwa yang ada disampingnya adalah Ranum, namun pikirannya menolak mentah-mentah hal itu. Devi tak pernah lupa sedikitpun tentang Ranum namun kebencian akan kehilangan suaminya membuatnya benci pada Ranum.

Seandainya saja Ranum tau bahwa Devi selalu menangisinya saat ia berangkat ke sekolah. Seandainya saja Ranum tau bahwa Devi selalu khawatir saat anak gadisnya pulang larut malam. Seandainya Ranum tau bahwa peristiwa saat Devi mengamuk karena Aksa yang pertama kali datang ke rumahnya ke adalah akal-akalan Devi saja, ia hanya tidak mau kalau Ranum terjerumus ke dalam lubang yang sama, ia tidak mau kejadian yang menimpa Ranum dua tahun yang lalu terulang kembali. Namun tetap saja, Devi membenci nama Rabun meski di bagian terdalam di hatinya sangat menyayangi putrinya.

Ranum berdiri di depan rumah sakit, rambutnya yang terurai ia biarkan dihempas oleh angin. Sejujurnya ia panik karena batang hidung Aksa tak juga muncul namun tak lama pria yang memiliki tahi lalat di dahi sebelah kiri itu muncul mengendarai motornya.

"Nungguin yah?" tanya Aksa dengan nada meledek membuat Ranum memasang wajah kesal. "Ceritanya ini lagi kesal atau apa nih, kok gue dicuekin?"

"Gue gak ada hak buat protes, lo yang punya motor, lo yang jemput jadi apapun yang terjadi gue harus bersikap baik pada Aksa Raja Prasetya!"

"Nah gitu dong."

Aksa mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang sehingga Ranum masih bisa menikmati udara segar di pagi hari saat melintasi jalan Sultan Hasanuddin. Ranum tersenyum saat Aksa berhenti mempersilahkan seorang penjual kerupuk menyebarang jalan, mungkin sangat sederhana namun Ranum merasa bangga pada Aksa. Selalu bangga pada Aksa, ia bahkan tak menemukan celah kekurangan Aksa selama berteman dengannya.

Aksa memelankan laju motornya saat memasuki parkiran sekolah, di ambang pagar sekolah terlihat Mimin yang menatap keduanya dengan tatapan mengintrogasi. Dan benar saja Ranum yang masih berusaha melepaskan helmnya tiba-tiba tersentak kaget saat Mimin muncul diantara mereka berdua.

"Kalian pacaran?" tanya Mimin.

"Enggak," jawab keduanya serempak lalu berjalan memasuki pekarangan sekolah.

Seolah tak mau ketinggalan berita Mimin mengikuti langkah keduanya, "terus ngapain boncengan?" tanyanya lagi.

Aksa dan Ranum berhenti mendadak membuka wajah Mimin terbentur di punggung Aksa. Aksa menghela napas sebelum menjawab, "Bu Mega juga boncengan sama tukang ojek, terus apa Bu Mega pacaran sama tukang ojek?" Aksa memberi jeda untuk ucapannya, "enggak kan?"

"Bu Mega kan bayar, emang Ranum bayar?"

"Bayar," jawabnya serempak.

"Oh." Mimin pergi begitu saja, muak dengan jawaban Ranum dan Aksa yang penuh dengan dusta, Mimin tau betul bahwa Ranum tidak membayar Aksa sepeserpun untuk mengantarnya ke Sekolah.

Dialog Dari RanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang