Ming tak perlu mendongak untuk mengetahui siapa yang datang. Ketukan hak sepatu itu sudah mengumumkan kehadiran tunangannya. Ya, sudah sebulan Jessica menjadi tunangannya. Segera setelah pernikahan Jennie, orang tua Jessica mengajukan permintaan agar keluarga Ming datang melamar.
Kalian udah cukup umur untuk menikah. Terlalu lama pacaran juga enggak baik.
Ming tak punya alasan untuk menolak.
Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Empat bulan lagi, setelah tahun baru. Tradisi Tionghoa tidak mengizinkan ada lebih dari satu pernikahan dalam setahun. Dan Jessica tak ingin menanti lama sehingga kedua keluarga sepakat mengadakan pernikahan di bulan Januari.
Ah Lung berdeham keras, memberi tanda kepada Ming.
"Wu an, siang, Pa," sapa Jessica.
"Hm."
Ming masih tak menengadah. Ia tetap terpaku pada layar laptopnya, berkutat dengan deretan angka-angka. Dari semerbak parfumnya, Ming tahu Jessica sudah berdiri tepat di hadapannya. Kemungkinan besar dengan wajah yang tertekuk karena ia mengabaikannya.
Kursi di sampingnya berderit nyaring. Dari sudut matanya, Ming melihat Ah Lung berdiri meninggalkan tempat. Segera setelah terdengar langkah Ah Lung yang naik ke atas, ia berhitung mundur dalam hati.
Tiga ... dua .... satu ....
"Yaaang ...," keluh manja perempuan di hadapannya.
Tak menunggu Ming meladeninya, berondongan sambatan keluar dari mulut Jessica. Wedding organizer yang menjadwalkan pertemuan lanjutan, gaun pengantin yang setengah jadi, desain kartu undangan dan suvenir yang belum selesai, dan banyak hal hanya lewat tanpa mampir di benak Ming.
"Yang, kamu dengar nggak sih?"
Ming hanya mengangguk tanpa sedikit pun menatap tunangannya yang sedang merajuk.
"Oh ya, nanti malam kita ada kelas persiapan pernikahan. Kamu enggak lupa, kan?" tanya Jessica lagi.
Sontak jari-jari Ming terhenti di udara. Kelas persiapan pernikahan. Butiran keringat bermunculan di dahinya.
"Nanti malam ya?" ia menatap Jessica gamang.
Kalau saja kelas ini bukan syarat untuk dilangsungkannya upacara pernikahan, Ming tak akan bermimpi mendaftar ikut. Membayangkan harus menjawab pertanyaan tentang hubungan mereka sudah membuatnya merasa tidak nyaman. Orang lain mungkin menilai mereka sebagai pasangan serasi. Tapi yang mereka tidak tahu, hati Ming dipenuhi keraguan dan pertanyaan yang ia sendiri tidak berani jawab.
Bagaimana jika di kelas nanti pertanyaan yang ia hindari selama ini muncul? Apa yang harus ia lakukan? Berbohong dan berpura-pura semua baik-baik saja? Atau berkata apa adanya dan mempermalukan dirinya juga Jessica?
"Iya. Jadinya aku ga balik rumah, kita berangkat sama-sama dari sini aja."
Jawaban Jessica merebut kembali perhatian Ming. Ia melihat perempuan itu mengambil secarik kertas dari atas meja dan mengipasi wajahnya. Tampak rasa tak nyaman di wajah Jessica. Ming tak heran. Si Princess yang terbiasa berada di ruangan sejuk tak mungkin betah berlama-lama di toko tanpa pendingin ruangan.
"Ya udah, aku naik dulu aja. Mau ketemu Mama. Tadi penjahitnya telepon, mau mastiin model bajunya Mama sama Martha."
Tanpa menunggu jawaban Ming, perempuan itu meninggalkannya. Sendiri, dengan segala kecemasan yang merayap dalam benaknya.
--
Ming membuka pintu kamar sambil menggosok rambutnya dengan handuk. Matanya membelalak melihat Jessica ada di sana. Ketika ia pamit untuk mandi sejenak, Jessica masih berada di ruang tengah rumahnya. Tapi sekarang ini, perempuan itu duduk di atas tempat tidurnya, memainkan Blackberry. Jantung Ming mulai berulah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, It's Me!
RomanceMichael, atau yang dipanggil Ming oleh orang-orang dekatnya, selalu dipuji sanak saudaranya, dijadikan teladan nyata bagi anak-anak saudara papa dan mamanya. Ia lulus kuliah dengan baik, rela meneruskan usaha papanya, dan memiliki pacar dari keluarg...