011

1.4K 213 7
                                    

Wajah Zin langsung mengkerut, mengingat kejadian yang tiba tiba saja terulang dalam pikirannya. Hah dasar, tipikal Yohan mencari kesempatan dalam kesempitan. Lamunannya langsung terhenti disaat telepon yang terletak begitu saja diatas meja bergetar.

Matanya langsung mencapi titik itu, sebelum mengangkat teleponnya terlebih dahulu dirinya melhat siapa yang sedang mencoba menghubunginya. "ah ibu?" ucapnya, membaca nama kontak yang sedang mencoba meneleponnya. Tidak butuh waktu lama, segera ia menjawab panggilannya.

"ha-"

"NAKK-EE!! KAMU DIMANA, KOK DIRUMAH GAADA? MAMA KETOK KETOK DARI TADI GAADA JAWABAN?? oh apa jangan jangan, kamu ikut kerja ama Yohan kah? TAPI YANG PENTING KAMU DIMANA SEKARANG??" Ibunya mengucapkan sesuatu dengan terik, kata katanya terkesan sangat khawatir akan keberadaan anaknya.

Zin di seberang sana justru langsung geleng geleng kepala. Jika saja ia menaruh ponselnya pada telinganya mungkin gendang telinganya akan pecah. "ah, bun.. jangan khawatir aku sekarang berada di rumah. Lagipula aku juga baru bangun ahaha" Zenjawab semua pertanyaan yang ada pada isi kepala ibunya, tidak dilupakan dengan tawa renyah yang ia keluarkan untuk mencairkan suasana.

"ah, syukurlah." disaat ibunya mengucapkan kata itu, kini Zinsudah berada di depan ibunya. Ia buru buru kebawah sambil menjawab semua pertanyaan ibunya. Ibu Zin langsung tersenyum, melihat sosok Zin yang sudah berada di depannya. 

Dengan sigap ia memeluk anak semata wayangnya ini. "duh nak, ibu kangen ngomelin kamu" ucapnya sedikit mengsarkas akan ucapannya. Disisi lain Zin malah sweatdrop mendengar perkataan ibunya. 

Lalu ketika ibunya melepaskan Pelukannya. Wanita setengah baya itu mengerjap matanya pada Zin, dari atas sampai bawah. Sampai ia berhenti  disatu tempat. Matanya membola akan apa yang baru saja ia lihat. "LAH NAK-E, kamu dah naninu ya?" tanya ibunda Zin dengan cengiran di bibirnya. 

Zin sedikit bingun dengan perkataan ibunya, sampai ia melihat lagi bagian antara pundah juga lehernya terdapat bekas gigitan kemerahan. Tidak perlu ikut terkejut, nyatanya ia hampir saja melakukan hal tersebut, yah memang hampir sebab Yohan sendiri menahan dirinya. "ahahaha." Zin malahan tertawa renyah, untuk mencairkan suasana. 

"hihihi, mitimi hihihi" sarkas sang ibunda, tapi didalam hatinya ia ikut senang jika Zin seperti ini. Nyatanya anaknya itu terlihat nyaman sekali dengan teman masa kecilnya, dan Zin juga tak pernah mengeluh tentang Yohan. Yah sebenarnya Zin ingin sekali mengeluh pada orangtuanya, tapi di hati kecilnya ia berpikir untuk tidak mengatakannya, melihat bahwa sebentar lagi ia akan menjalin hubungan yang lebih serius dan menjalani ajad pernikahan. 

"oh ya, bunda kesini ada urusan apa ya" tanya sang anak lagi, maksudnya tidak biasa ibunya melakukan sesuatu tanpa persetujuan dari dirinya. Mendengar pertanyaan dari sang putra, ibunda Zin langsung terkekeh kecil. "duh nak-e Zin masih saja gampang pelupa, kamu masih muda loh nak" jawab ibunya bercanda. Ia berpikir untuk tidak ingin membuat momentum dengan anak semata wayangnya ini menjadi terlalu mencegangkan, melihat jika sebentar lagi ia harus melepas Zin dan membiarkan pria itu memulai keluarganya. 


sesampainya diruang tamu, dimana sang ibunda juga Zin yang sedang duduk di sofa masing masing. Sembari menyeruput sebuah teh manis, juga manisan yang sudah Zin sediakan untuk ibunya juga dirinya. 

"Oh ya, bentar lagi kamu mau nikahan loh, masa ga prepare baju weeding?" sang ibunda berhasil membuat Zin membolakan matanya, jujur saja ia tidak pernah melihat tanggal kapan ia akan menjalani pernikahannya. Lebih tepatnya ia masih mencoba untuk menjadi pasangan yang akan menemani Yohan seumur hidupnya. 

Zin mematung sementara ia masih tercengang ketika sudah mendengar kata nikah sebagai topik pembasan. Sang ibunda sama sekali tidak merasakan respon dengan anaknya, alhasil membuatnya sedikit merasa khawatir. Alisnya membentuk melengkung, tangannya memegang tangan milik Zin. "nak.." panggilnya langsung membuat lamunan Zin terhenti. 

"ah iya, kenapa bunda?" tanya Zin, dengan senyum sumringah yang cukup canggung. Ah sang ibu bisa menebak jelas apa yang sedang dipikirkan oleh anaknya. Ia menarik anaknya pada dirinya, membawa kepala itu untuk tidur dipahanya. Zin yang diperlakukan seperti itu hanya mengikuti alunan yang sedang dijalankan oleh sang ibunda. Tangan ibunya bergerak, mengelus surai gelam nanhalus miliknya. 

"Kamu masih belum merasa siap ya?" tanya ibunya dengan halus juga hati hati, tidak ingin menggoreskan sebuah luka pada hati kecil milik anaknya. Ia tahu benar bahwa Zin merupakan tipe manusia yang selalu percaya diri juga berani, namun justru manusia seperti itu adalah manusia yang sangat gampang terluka dan takut akan kekalahan yang menimpanya. Tetapi dengan potensi yang lebih tebal dari baja ia melawan semua ketakutan yang menghadangnya, namun tidak semua hal yang bisa membuatnya bangkit berdiri lagi dan melawannya. sebab tidak semua manusia itu sempurna.

Usapan demi usapan, tak lama kemudia sebuah air mata keluar dari kedua mata sang anak. Air bening itu membasahi baju dress yang menopangnya untuk terbaring. "bundaa, maafin Zin ya. Maafin Zin." bibirnya bergetar hebat mengatakannya, ia sudah menahan air mata itu untuk keluar namun naas ia gagal. Tidak lama kemudian seiringnya jarum jam berjalan, anak semata wayangnya kini sudah menangis dengan kuat. Seperti melepaskan semua bebannya pada sang ibunda.

Banyak sekali kata kata yang ingin ia katakan saat ini, namun bibirnya tak henti mengeluarkan sebuah isakan yang sangat menyedihkan. Ia benci ini, ia sangat benci terlihat lemah didepan orang yang sangat ia sayangi. "Zin jujur, Zin sebenarnya belum siap bun. Tapi disisi lain Zin gasuka liat Yohan git-" ucapannya terpotong dikala isakannya keluar begitu saja, disaat ia sudah tidak mampu lagi untuk menahannya. 

"kamu sayang banget ya sama Yohan?" tanya ibunya, tersenyum kecil. Tangannya tak henti mengelus surai milik putra semata wayangnya itu. Ia tau sangat penderitaan seorang yang ingin membantu memikul beban orang yang sangat ia dicintai, namun orang yang ia cintai itu hanya ingin memikul bebannya sendiri tidak menginginkan orang yang mencintainya itu untuk ikut memikul bebannya hanya karena kasihan dengannya.

Egois mereka bilang, tapi ini adalah fakta yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. 

Zin sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan sang ibunda dengan mulutnya, justru ia sudah menjawabnya dalam hatinya. Ia sangat sangat menyayangi sosok itu. 


-seinley



Maaf kalau krinj, semoga anda bisa menghayatinya:D. Tapi jujur, saya kebawa suasana gara gara lagu yang saya putar sedih semua WKWKWK. 

𝗙𝗢𝗥𝗖𝗘𝗗 𝗠𝗔𝗥𝗥𝗜𝗔𝗚𝗘. Yohan X ZinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang