013

1.6K 212 17
                                    

Tiga hari berturut turut Zin mengabaikan Yohan. Dan hari yang seharusnya dipenuhi oleh canda tawa, juga senyuman yang terukir tentang betapa bahagianya seseorang kini pun tidak terjadi. Bulan Oktober tanggal 13. Hari dimana seorang Yohan juga Zin kini tidak lagi berstatus sebagai pasangan yang bertunangan.

Melainkan sebagai pasangan yang akan menikah, dan melepas gelar fiancé. 

Sore ini, ditemani oleh pancaran sinar matahari yang kian hendak menurun. Disanalah sang pengantin dengan jas berwarna putih berjalan diatas karpet merah, dengan raut wajah tersenyum palsu ia berjalan didampingi oleh seorang Ayah dibelakangnya.

Orang orang tampak memperhatikan pengantin itu, sungguh menawannya pengantin yang satu ini. Langkahnya terlihan lamban namun anggun sekali, pria cantik itu berjalan. Menuju atas altar, kakinya perlahan menaiki satu persatu tangga kecil itu.

Yohan yang menunggu Zin sungguh berusaha untuk mempertahankan wajah datarnya. Bagaimana tidak? Berhari hari ia belum berbicara pada Zin. Uh, bagaimana cara mengatakannya ya? Seperti pernikahan yang dijalankan oleh ketidak siapan dua oknum. Itulah yang dirasakan kedua pasangan tersebut.

Tidak bisa memberhentikan waktu, kedua oknum itu terpaksa menikmati momentum demi momentum yang menegangkan itu dengan ukiran wajah yang terlihat senang. Tidak ingin mengecewakan orangtua, juga sesama oknum. 

Tepat ditengah tengah matahari yang sedang terbenam. Kedua pasangan tersebut mengucapkan janji suci layaknya seorang yang ingin menikah. 

"Atas nama Seong Yohan, apakah kau bersedia menjadi seorang pedamping hidup dan mati Lee Jin Sung?" tanya pak penghulu, dengan senyum ramah yang ia ukir. Yohan langsung saja membalas "Ya, saya bersedia." maniknya tak lepas menatap sepasang bola mata hitam milik Zin, sungguh indah pikirnya. 

Zin sendiri menatap balik manik coklat Yohan. "Apakah kau, Zin Lee. Bersedia menjadi pendamping sehidup semati bagi Seong Yohan? Maupun maut memisahkan kalian berdua?" Menjawab lagi pertanyan yang dilontarkan seorang penghulu lagi. " Ya, saya bersedia." jawabnya dengan senyuman sumringah.

Dengan pastinya kedua jawaban pasangan, pak penghulu lagi dan lagi berucap. "Seong Yohan, now you may kiss the bride." ucap sang penghulu.

Langsung saja Yohan melingkarkan satu tangannya di pinggang milik Zin, dan menarik pria itu lebih mendekat padanya. Wajah antarkedua oknum semakin mendekat lama perlahan, sampa kedua bibir mereka tersentuh. Tak lupa menutup mata, menikmati setiap momen yang ada. 

Satu tetesan air mata mengalir jatuh di pipi putih Zin, rasa sakit yang bercampuran dengan rasa kebahagian memusingkan benaknya. Pelan pelan Yohan melepas ciuman itu, menatap manik legam zin yang terlihat sendu. Jarinya langsung saja mengusap linang mata yang terjatuh itu. 

Sama sekali tidak memerdulikan orang orang yang bersorak bahagia, tentang sahnya pasangan suami istri ini. Dunia seakan milik berdua, kedua oknum itu masih saja saling menatap natap empat mata. Tidak percaya akan apa saja yang terjadi saat ini, detik ini, juga momen ini. 

Yohan menempelkan keningnya pada kening Zin. "Aku benar benar minta maaf. Sungguh, kumoho-" bisiknya kecil, dan langsung saja perkatannya dipotong oleh Zin. Tangan pria bersurai legam itu menangkup pipi Yohan. "Ayolah Yohan. Bukankah seharusnya kita berbahagia melihat ini adalah acara yang hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup?" Ucap Zin, menampilkan gigi putihnya tersenyum.


Sekitaran pukul sebelas malam, angin malam yang menerjang membuat surai rambut legam halus milik Zin ikut terbawa arusnya angin. Dingin memang angin malam ini, tapi entah kenapa Zin masih saja setia berdiri menyenderkan tangannya di balkon itu.

Matanya ia pejamkan, tidak menyadari sosok yang sudah berada di belakangnya. Tiba tiba saja Yohan datang, dan memeluk Zin dari belakang. "Aku minta maaf." ucap oknum surai cokelat itu dengan suara yang berbisik kecil. 

"hmm?" Zin disana, yang hanya merespon dengan deheman sejujurnya sedang diluar titik fokusnya. Kata kata Yohan ia biarkan begitu saja, dan berlanjut menikmati angin malam yang indah ini. 

Yohan's PoV=

Aku sungguh tidak ingin menyusahkanmu waktu itu, aku.. Aku sungguh tersesat dalam lingkaran pola pikirku, tidak menyadari adanya bantuan dari seorang sepertimu, yang bersedia memberikan tangannya untukku keluar dari kesengsaraan ini.

 Bukannya tidak mau. Hanya saja ada suatu halangan, yang membuatku tidak bisa menerima itu. Rasanya seperti sampah yang ingin didaur ulang saja. Dari masa masa kelam yang aku jalani, aku berpikir. Mengapa? Mengapa aku selalu dibantu oleh orang orang disekitarku? Bukankah aku punya diriku sendiri untuk membangun diriku? Bukannkah pada akhirnya seseorang akan berakhir sendiri?

Disaat saat itu, aku hanya berpikir tetang diriku sendiri. Ya, aku tau kalau aku sangat egois. Tapi ini jalan yang harus kutempu, hanya untuk mencampai puncak. Berjalan seperti anak malang yang tersesat, tau membedakan yang mana yang baik dan yang jahat melalu pengalaman, dan menerima imbasnya begitu saja.

Tapi pada akhirnya aku sadar. Aku tidak bisa melakukan ini sendiri. Aku masih saja menjadi anak malang yang tersesat tidak tahu jalan arah untuk kembali ke rumah. Zin, aku tau aku hanya seorang yang selalu dicap sebagai sampah egois. Tapi kumohon, beri aku satu kesempatan lagi. Aku ingin menjalani ini bersama dengamu, bukan hanya dengan diriku tapi juga denganmu.

Aku minta maaf, aku sungguh minta maaf. Izinkan aku memparbaiki itu semua.




-seinley



𝗙𝗢𝗥𝗖𝗘𝗗 𝗠𝗔𝗥𝗥𝗜𝗔𝗚𝗘. Yohan X ZinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang