4. First Meet

13.6K 1.1K 39
                                    

Setelah waktu itu, sampai hari ini Langit tidak lagi pernah menghubunginya. Mereka hanya saling menyimpan kontak satu sama lain. Mentari juga memutuskan tidak menanyakan apa pun pada kedua orang tuanya, nanti saat mereka pulang, tanpa diminta pasti Mentari mendapatkan jawaban. Keluarga kembali ke Jakarta dua minggu kemudian, tepatnya hari ini, kemarin mamanya sudah mengabari kalau mereka sudah akan terbang. Mentari sendiri senang karena setelah ini rumah tidak akan lagi kosong dan mbak akan datang setiap hari. Kemarin Mentari mengira mbak akan menginap di rumahnya selama orang tuanya pergi, rupanya orang tuanya malah memberi mereka jatah libur dan membiarkan Mentari mengurus sendiri rumah. Lelah, letih, ingin menyerah tapi tidak bisa. Yang paling bisa Mentari lakukan hanyalah menjalani semuanya sebagaimana mestinya.

Jadi Mentari sangat bersyukur dengan berita kepulangan keluarganya dari kampung, dia hampir gila tiga hari lalu semua pakaian yang sudah dia cuci diguyur hujan saat dirinya masih di kampus.

Selama dua minggu itu pula Mentari membiarkan Luna pulang ke rumah, tapi dia juga membiarkan saat anak itu ingin menginap di rumahnya. Kadang Mentari sendirian, kadang juga dia mengajak beberapa teman.

Karena hari ini seluruh keluarganya akan kembali ke rumah, maka Mentari menunggu sendirian. Gadis itu mengerjakan tugas di meja makan sembari menunggu kedua orang tua beserta adiknya akan sampai malam ini.

Asik dengan laptopnya, suara bel akhirnya menginterupsi Mentari, dia berpikir sejenak. Kalau tamu dia tidak mau menyambut, biarkan saja mereka sampai pulang. Tapi kalau orang tuanya pasti memencet bel berkali-kali dan ya memang berkali-kali.

Langsung saja Mentari beranjak dari tempatnya karena dia benar-benar tidak sabar, kemarin Bulan becerita bahwa mereka membawa beberapa oleh-oleh dengan olahan durian, kalau buahnya langsung takut susah masuk pesawat. Mentari membuka pintu dan langsung antusias memeluk mamanya juga papanya, tak lupa pula Bulan. Kemudian berhenti di hadapan seorang pria, wajahnya tidak asing, tapi Mentari juga tidak kenal.

"Salim dulu itu suami kamu." Mamanya menginterupsi, Mentari menatap sosok di hadapannya, laki-laki itu tersenyum ke arah Mentari.

Dia lebih dulu menyodorkan tangannya, peka karena mungkin sebagai perempuan Mentari merasa malu.

Mentari menyambut uluran tangan tersebut, menempelkan nya ke kening dan hidung, setelahnya menipiskan bibirnya. Sulit dipercaya bahwa dia merupakan perempuan bersuami sekarang ini.

"Langit pasti capek, ajak ke kamar kamu sana. Biar istirahat."

Mentari menoleh ke mamanya. "Kamar aku?" Yang benar saja!

"Iyalah, suami kamu itu."

Nah, bahkan Mentari sudah lupa soal itu. Langit menatap hal yang lain pura-pura tidak tahu apa-apa.

Mentari melirik nya, ya masa dia yang ajak?

Mama, papa, beserta Bulan lebih dulu masuk ke dalam rumah.

"Aku nggak boleh masuk?" tanya Langit.

Mentari seketika gelagapan, sulit mengartikan apa yang dia rasakan saat ini. Pokoknya daripada senang, ini semua lebih ke aneh.

"Boleeeh." Mentari melangkah duluan masuk ke dalam rumah, Langit mengikuti gadis itu masuk.

"Kamarnya di atas." Mentari menunjuk tangga, dia lantas berjalan ke arah sana.

"Mau langsung ke kamar?" tanya Langit.

"Hah? Eh! Lah, bukannya mau istirahat?" Mentari bertanya, kedua orang tuanya dan Bulan sudah menuju ke kamar masing-masing karena mungkin mereka lelah. Jadi Mentari yang mengurus langit.

Langit terkekeh melihat Mentari panik, menurutnya lucu.

"Iya."

Suaranya adem, mungkin setelah ini akan menjadi suara yang Mentari suka.

Mentari lantas berbalik kikuk, kemudian melangkah menapaki anak tangga diikuti oleh Langit. Langit sendiri hanya mengikuti, dia memang sudah tahu kalau itu adalah istrinya, selepas menikah Selvi mengirim beberapa foto Mentari, dia sama sekali belum pernah melihat wajah Mentari saat mengucap ijab qobul, tapi rupanya wajah istrinya itu di luar ekspektasi, imut dan masih seperti anak SMA, padahal semua orang mengatakan usianya sudah dua puluh satu tahun, tahun ini.

Mentari membukakan pintu kamarnya dan membiarkan Langit masuk. Dia sendiri sebenarnya deg-degan parah, tapi berusaha untuk terlihat biasa saja. Bukan hanya Langit, tapi Mentari juga merasa pria itu di luar ekspektasinya, kulitnya putih bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung, ternyata dia mengenakan kacamata, bibirnya tipis, terdapat bekas dan beberapa jerawat di kedua pipinya, tapi menurut Mentari itu malah menambah ketampanannya.

Karena tidak tahu harus apa, Mentari memutuskan duduk di tepian kasur, Langit malah mengikutinya.

"Emmm, kita udah nikah." Langit membuka pembicaraan.

"Iya, udah tau."

Langit kemudian mengangguk-angguk.

"Aku mandi dulu."

Mentari mengangguk. "Itu kamar mandinya di sana." Mentari menunjuk kamar mandi di salah satu sudut kamarnya.

Kecanggungan benar-benar terasa, tapi kentara sekali kalau mereka berdua berusaha bertindak biasa saja.

Langit masuk ke dalam kamar mandi, Mentari langsung menghela napas lega. Ah sial, kenapa dia deg-degan? Padahalkan mereka baru bertemu hari ini? Seharusnya tidak ada perasaan lebih.

Mentari memegang dadanya sendiri berusaha menenangkan diri, lima menit berlalu, masih terdengar suara aliran air dari dalam sana. Sepuluh menit kemudian, shower terdengar dimatikan.

"Mentari?"

Mentari langsung bangkit dari posisi duduknya, baru satu hari bertemu, tapi dia sudah menjadi istri yang sangat siaga.

"Iya?"

"Boleh ambilkan handuk aku? Ada di tas, buka aja, letaknya di atas kok."

"Oke."

Jadi Langit membawa dua, satu koper yang satunya lagi tas punggung, Mentari membuka tas punggung yang dibawa Langit kemudian mengambil handuk di sana, gadis itu buru-buru menutup kembali tas Langit.

"Ini!" Mentari agak mengeraskan nada suaranya

Tangan Langit keluar, Mentari menyodorkan handuk tapi tangan itu malah memegang pergelangan tangannya. Selanjutnya malah menarik tangan Mentari membuat Mentari kaget setengah mati.

Kepala Langit menyembul dari balik pintu.

"Panik nggak?"

Setelah melontatkan pertanyaan itu, Langit kembali masuk ke dalam kamar mandi kemudian tertawa dari dalam sama. Baru satu hari tapi Mentari sudah hampir gila rasanya.

Dia kembali ke kasur untuk menunggu Langit, tidak tahu juga apa alasannya menunggu pria itu. Tapi dia sendiri juga tidak tahu harus apa sekarang.

Langit keluar dengan keadaan tidak memakai baju, hanya memakai handuk yang dililit di pinggangnya. Mentari menelan ludahnya dengan susah payah saat pria itu menyukai rambut basahnya, memakai baju saja sudah terlihat luar biasa, ternyata jauh lebih luar biasa ketika tidak memakai baju.

"Nunggu apa?" tanya Langit.

Mentari kembali gelagapan.

"Oke, aku tunggu di luar."

***

Gimana gimana??

Masih lanjut? Atau sudah mulai membosankan?

Apakah kelakuan langit akan meresahkan?

Wkwkwk meresahkan juga pasti pada mah jadi Mentari kan? Hahahaha!

Tapi kayaknya hubungan pasangan muda ini akan jadi yang gemes gemes gimana gituuu.

Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang