18. Perempuan Macam Apa?

5.8K 520 15
                                    

Matahari sudah berada di singgasananya, mentereng dengan cahaya cerahnya. Mentari masih bergelung di balik selimut meski Langit sudah sihuk di dapur, bukan tanpa alasan, Langit merasa bahwa hubungan mereka sedikit membaik, jadi dia juga berusaha untuk memperbaiki keadaan. Mentari juga memintanya untuk memasak, jadi Langit menurut saja. Mumpung sedang libur dari aktivitas yang penat, Langit juga mau memberi ruang untuk Mentari menikmati harinya.

Bel berbunyi, dengan celemek yang masih menempel di tubunya, Langit berjalan menuju pintu utama dan membukakan pintu setelah mengintip dari jendela dan ternyata yang datang adalah ibu mertuanya, karena aneh kalau ada tamu karena memang kalau teman Langit maupun Mentari pasti mengabari dulu. Langit menyalami tangan ibu mertuanya itu. "Sendirian Ma?" tanyanya basa-basi karena memang melihat kalau papa mertuanya tidak ada di sana.

"Iya, gimana kalian di sini?" Nia kemudian mulai melangkah masuk, rumah itu memang tidak ada yang berubah, masih sangat terasa kesan jadulnya. Karena memang sejak awal konsepnya adalah zaman dulu, jadi tidak ada yang harus direnovasi. Justru kalau direnovasi mereka semua yang merindukan tempat itu malah kehilangan keasliannya.

Langit mengangguk. "Rumahnya nyaman dan ya gitu kita jadi lebih bisa ngurus rumah." Langit mengekor di belakang Nia saat mama mertuanya itu mulai masuk ke dalam rumah dan menjelajah sekitar rumah.

Nia berbalik. "Mentari mana?" Langit sudah memakai celemek dan tampak sudah segar pagi-pagi begini. Tapi dirinya malah sama sekali tidak melihat keberadaan Mentari.

"Emmm." Langit malah bingung harus menjawab apa, Mentari pasti malu kalau ketahuan masih tidur dan sebagai suami yang baik Langit harus bisa menjaga aib istrinya.

"Masih tidur ya?" tanya Nia, dia sudah sangat tahu tabiat anaknya itu, sekeras apa pun Langit menutupi dia tahu sekali bagaimana Mentari.

"Nggak kok Ma, tadi udah bangun, tapi masih di kamar." Langit masih berusaha untuk tidak melakukan kesalahan seperti mengatakan soal keburukan Mentari. Dia bisa memahami kalau Mentari tidak bisa bangun pagi, tapi bagaimana dengan orang lain? Apalagi ibu-ibu, pasti sangat tidak bisa melihat anak perempuan bangun siang.

Tanpa bisa menahan lagi, Nia sudah berjalan cepat semakin masuk ke dalam rumah, mengecek seluruh ruangan kemudian berhenti setelah menemukan Mentari.

Langit hanya menggaruk belakang kepalanya, kalau sudah begini dia sama sekali tidak tahu harus apa.

"Kamu nih ya! Suami udah sibuk di dapur kamu malah masih tidur." Nia mendaratkan cubitan bertubi-tubi ke tubuh Mentari, karena hal itu Mentari terpaksa bangun dari tidurnya. Cubitan ibu-ibu tidak diragukan lagi rasanya.

"Apaan sih?!" Karena belum sepenuhnya sadar, Mentari suudzon kalau itu adalah Langit.

"Eh! Mama?" Barulah dia sadar kalau itu adalah mamanya.

"Bener-bener ya kamu!"

Mentari loncat dari tempatnya merebahkan diri. Turun dari kasur menghindari mamanya serta tangan maut sang mama yang kalau mencubit bekasnya bisa baru hilang satu minggu.

"Ada apa Ma?" Mentari bertanya saat dirinya sudah berdiri di sudut, menghindari mamanya.

"Ada apa! Ada apa! Ya mama ke sini mau lihat keadaan kamu! Rupanya begini kelakuan kamu? Kamu biarin suami kamu masak sendiri?! Sementara kamu asik tidur-tiduran?!"

Mentri menyugar rambutnya, tentu saja apa yang terjadi hari ini hanya kebetulan. Karena biasanya juga dia kebetulan bangun lebih pagi.

"Istri macam apa kamu ini!"

"Nggak setiap hari kok begini Ma!" Langit akhirnya ikut nimbrung di kamar Mentari. Mentari yang melihat cowok itu langsung buru-buru berlindung di belakang tubuh Langit, sudah menikah juga dia masih tidak terhindar dari omelan mamanya.

"Kalau dia kurang ajar marahin aja itu Lang! Kalau nggak bisa dibilangin ngomong sama mama biar mama kasih pelajaran!"

Kok jadi kesannya Mentari begitu sangat buruk hingga mamanya memberi pesan seperti itu ke Langit.

"Mama pikir Langit baik?! Kita berdua itu sama aja!"

Nia langsung mengejar lagi Mentari, sudah dia yang salah malah berusaha mencari celah kesalahan orang lain. Beruntung sebagai suami Langit sigap, melindungi Mentari dari cubitan sang mama.

***

"Seneng kan kamu aku dimarahin Mama!" Bukan Mentari namanya kalau tidak suudzon dengan Langit.

Langit yang baru saja memasukkan sepotong brownies buatannya sendiri seketika terdiam menatap Mentari. Dia bahkan menolong Mentari dari amukan mamanya, tapi dia malah buruk sangka begini dengan Langit.

"Aku juga nggak tau kalau mama kamu mau dateng."

"Ya seharusnya kamu bangunin aku dong."

"Aku nggak tau Mentari! Mama kamu dateng begitu aja. Aku juga heran kok tiba-tiba ada tamu di rumah ini."

"Sekarang kamu pasti jadi menantu idaman tuh. Dibicarain di mana-mana!" Mentari membawa minumannya ke atas meja makan bergabung dengan Langit.

Ya mana Langit tahu?! Salah Mentari sendiri karena bangun siang! Lagian Langit mana tahu kalau Mama mentari mau datang.

"Sama temen-temen nya pasti kamu diceritain sebagai sesosok yang keren. Pagi-pagi udah masak, nggak kayak aku yang masih molor." Sekalipun dirinya rajin, sekalipun dirinya sudah ke sana kemari untuk membereskan seluruh rumah, itu tidak akan pernah dilihat oleh mamanya.

Langit menghela napas. "Itu salah aku?" tanya Langit.

"Ya salah kamu! Salah karena kamu suka masak, salah karena kamu bangun lebih pagi dari aku! Kenapa sih kamu nggak kayak cowok pada umumnya?" tanya Mentari. Ini omelannya sudah merembet ke mana-mana, bukan tanpa alasan, karena mood Mentari memang sudah berantakan sebab dipaksa bangun sebelum dirinya benar-benar ingin bangun.

"Nanti bilang semua cowok sama aja!"

"Tapi kamu itu aneh, sukanya baca buku, suka masak, suka beres-beres, suka kebersihan. Aku 'kan, jadi nggak enak hati tinggal sama kamu!"

Langit menghela napasnya lagi. "Aku ngerokok, nggak rajin-rajin banget juga, masih suka nitip cuci baju sama kamu. Emang kebersihan kan sebagian dari iman."

Mentari mendengkus, memang mamanya pasti sudah gatel sekali ingin memarahinya karena sudah tidak tinggal di rumah lagi.

"Aku suka nongkrong, suka ninggalin kamu. Suka nggak inget waktu, banyak kok bad habbit nya, atau aku bilang sama mama kamu kalau aku nggak sebaik itu?"

Mentari menatap sinis Langit sembari mencomot brownies yang Langit buat.

"Iya, makanya aku bilang sama mama kalau kamu nggak sebaik itu!"

Langit mengangguk, dia tidak marah dengan itu karena memang dirinya tidak sebaik itu. Berat juga jika harus memikul ekspektasi mama Mentari atas dirinya, karena kesalahan sedikit saja akan langsung membuatnya terlihat sangat salah.

"Iya, aku nggak sebaik itu."

"Kata-kata kamu aja nyakitin banget!"

Langit mengangguk, dia sudah minta maaf untuk itu, tapi pasti sakitnya masih teringat rasanya.

"Btw enak nggak?"

"Enak banget! Gila ya lo! Jadi koki aja sana!" Dan karena memang brownies buatan Langit enak, jadi Mentari tidak bisa bohong.

***

Maaf agak telat up wkwkwk.

Biasalah namanya juga hidup ada aja kesibukan tidak terduga.

Semoga selalu suka ya guys!

Jangan lupa vote & comment!


Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang