Langit benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, menjadi suami yang siaga dalam segala yang Mentari butuhkan. Tentu saja dia yang menemani Mentari ketika Mentari butuh ke kamar mandi, karena aneh kalau mama Mentari lagi yang mengurus.
Mentari menoleh menatap Langit, mereka hanya berdua di rumah sakit sekarang ini, jadi kalau Mentari mau ke kamar mandi sudah pasti hanya Langit yang bisa membantunya.
"Ini kamu mau nemenin aku?" tanya Mentari, malu! Karena tentu saja rumah tangga mereka tidak pernah berjalan sebagaimana mestinya meski mereka berdua sebenarnya sempat hampir punya anak.
"Terus?" Langit bertanya balik, wajar saja karena Mentari adalah istrinya, setelah ini juga Langit yang akan mencuci kain sisa darah yang Mentari keluarkan.
"Kamu tunggu di luar aja ya?"
"Emangnya kamu udah kuat?" tanya Langit, dia sih mau menunggu di luar, tapi tidak mau menanggung risiko kalau sampai Mentari pingsan di kamar mandi.
"Tapi..."
"Aku udah lihat kok... Semuanya." Ketika Mentari melihat ke arahnya, Langit pura-pura memandang ke arah lain.
"Aku bantuin sayang, ya?"
Karena memang sudah tidak punya pilihan, Mentari akhirnya bangkit dari kasurnya, dibantu Langit berjalan menuju kamar mandi, di kamar mandi mereka masuk berdua, Langit membantu Mentari memegangi kain yang membebat kaki istrinya itu, menunggu Mentari buang air kecil setelahnya membantu Mentari kembali ke ranjang.
Langit seperti sosok yang berbeda hari ini, tampilannya memang masih sangat muda, tapi mungkin karena dia sendiripun calon dokter, jadi Mentari bisa melihat bagaimana sosok Langit ketika mengurus orang sakit.
"Kamu nggak jijik?" Darah yang Mentari keluarkan bukan sedikit, tapi Langit memegang langsung kain-kain yang sebelumnya terkena darah.
Langit baru saja menaikkan kaki Mentari ke atas kasur. Pria itu menggeleng. "Kenapa harus jijik? Kamu baru aja berjuang buat anak aku."
Mentari terharu mendengarnya, andai sosok yang menjadi suaminya bukan Langit, belum tentu rela merawatnya sebegininya.
Langit lantas membelai kepala Mentari. "Jangan khawatir soal apa pun, aku akan selalu di sini." Dia akan tetap berada di sana, setidaknya sampai Mentari baik-baik saja.
Segala rencana soal perpisahan yang sudah Mentari susun di kepalanya seketika buyar, berganti dengan pertanyaan, apa nanti akan ada sosok yang bisa berlaku sebaik ini padanya?
***
Langit menyuapi Mentari makan, mengajak istrinya itu bercerita soal banyak hal, pokoknya berusaha mengalihkan fokus Mentari dari kesedihan yang menimpa mereka. Berusaha untuk melakukan penghiburan sebisanya. Karena memang selepas kehilangan yang mereka alami, hal yang paling Mentari butuhkan adalah dirinya. Selagi dia masih bisa selalu ada, maka Langit akan berusaha selalu ada.
"Tuhan baik ya, akhirnya kita punya tabungan akhirat." Padahal dia tidak sebaik itu, tapi Tuhan masih saja baik.
Mentari diam sejenak, mencerna kalimat yang barusan Langit katakan.
"Iya ya? Aamiin, biar bisa bawa kita ke surga. "
Langit mengangguk, paling tidak dari musibah yang ada mereka masih bisa mengambil hikmah, tidak terus-terusan terjebak dalam kedukaan dan mengutuk takdir yang sudah terjadi.
Langit menyuapkan lagi makanan ke mulut Mentari, sebenarnya Mentari protes karena nasinya lembek dan kurang enak, tapi Langit dengan telaten menambahkan ciki ke atas nasi agar lebih enak di mulut Mentari.
"Dari apa yang terjadi, aku jadi paham, kalau urusan rumah tangga ya emang ujung-ujungnya diselesaikan bareng suami."
Langit mengangguk, dia juga sama, sadar bahwa yang paling dia butuhkan hanya Mentari.
"Itu kenapa penting memilih suami yang sefrekuensi, suami yang terbaik. Karena ya ujung-ujungnya, semuanya harus didiselesaikan berdua."
Sangat dewasa, tapi apa Langit sendiri sebaik itu? Mentari tidak ingin mengatakannya tidak baik, tapi apa yang Langit lakukan juga kadang-kadang membuat Mentari amaze. Dia bisa memasakkan Mentari, mengingatkan ketika pakaian Mentari terlalu terbuka, juga segala hal yang dia lakukan hari ini, dia terkesan baik, tapi satu kesalahannya perihal tidak mau melepaskan Winda, semua kebaikannya jadi ikut buruk di mata Mentari. Karena rasanya dia benar-benar tersakiti dengan itu.
"Tapi sejak awal aku bukan pilihan kamu, begitu juga sebaliknya."
Langit mengangguk, tapi orang-orang yang ada di balik pernikahan mereka adalah orang-orang yang paling paham apa yang terbaik untuk mereka berdua. Keluarga Mentari tahu kalau Langit baik, begitu juga sebaliknya, jadi ya mungkin itu landasan kenapa pada akhirnya mereka disatukan.
"Tapi kamu nggak terlalu jauh dari ekspektasi aku, kamu cantik, kamu pinter dan kamu bucin ternyata."
Mentari memanyunkan bibirnya, bucin sendirian benar-benar tidak enak dan bisa-bisanya Langit mengatakan hal itu tanpa beban.
"Yang pasti setelah beberapa saat hidup bersama, kita ternyata nggak terlalu sulit untuk ngobrol, kamu selalu bisa mengimbangi apa yang ada di pikiran aku."
Mentari mengangguki hati tersebut, Langit juga pintar sebenarnya, mereka sangat nyambung ketika mengobrol, selain itu Langit adalah seorang pria dengan basic skill, jadi urusan rumah dan masak bukan semata-mata semuanya adalah urusan istri. Mentari selalu menanamkan itu dalam dirinya, bahwa dia harus menemukan seseorang yang paham urusan rumah tangga.
Mentari menatap Langit.
"Sekarang apa kamu bersedia menjadi milik aku sepenuhnya?" tanya Mentari. Perihal pisah masih terbayang di kepalanya, tapi sekarang hal itu sedikit dia kesampingkan, karena jika Langit setuju untuk menjadi bagian dari hidup Mentari, Mentari akan melupakan soal semuanya, soal apa pun, soal segala kesakitannya selama ini. Pokoknya soal semuanya.
Langit mengambil tangan Mentari, mencium punggung tangan dan telapak tangan itu. "I'm yours Mentari!"
"Tapi selagi kamu punya pacar, kayaknya aku nggak akan pernah merasa memiliki kamu."
***
Dari banyak hal yang Langit lakukan, Mentari masih dihantui perasaan bahwa pria itu bisa kapan saja beranjak dari hidupnya. Langit bisa saja menjadi sesuatu yang sulit untuk Mentari jangkau, dia bisa kehilangan kapan saja, tapi terlalu takut untuk mempersiapkan hati atas kehilangan itu sendiri. Langit sedang berbincang dengan papanya, poin bagusnya dari sosok Langit yang lain adalah, pria itu humble, dia bisa tenang mengobrol dengan siapa saja. Walau agak menyebalkan ketika dia menggoda perawat yang masuk untuk mengurus Mentari.
Langit mengedipkan sebelah matanya saat mendapati Mentari menatapnya. Dia kemudian mengirimkan pesan ke ponsel Mentari.
Langit :
'Nggak usah dipantau gitu, kegantengan ini masih milik kamu.'Mentari :
'🤮'Langit kemudian terbahak, sampai Migdad keheranan menatapnya.
"Sebentar ya Pa." Dia kemudian bangkit setelah itu menghampiri Mentari yang ada di kasur.
Tanpa aba-aba, Langit langsung mencubit pipi Mentari.
"Gemes banget kalau nggak dilakuin sekarang juga. Geregetan aku!"
Migdad menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya Langit meninggalkan obrolan dengannya hanya karena ingin mencubit pipi Mentari. Hawa-hawa jiwa muda memang berbeda.
***
Hahahaahaha!
Kenapa mau marah?
Aku suka kemanisan ini! Kalau kalian nggak suka Langit, ya udah sih wkwkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentarinya Langit
Romance~Young Adult *** Bagaimana jika kedua orang tuamu menghadiri pernikahan sepupumu, tapi tiba-tiba kamu yang hadir secara virtual dinikahkan juga? Itulah yang dialami Mentari. Ketika orang tuanya sampai di rumah mereka sudah membawa menantu yang nota...