45. Kalah

7.2K 645 21
                                    

Langit :
'Kak Mentari kegiatannya apa hari ini?'

Padahal dia sendiri juga masih belum memulai kegiatan, tapi sudah menghubungi Bulan untuk menanyakan soal apa kegiatan Mentari. Di tempat yang berbeda dari tempat di mana Langit berada, Bulan menghela napas, jujur saja dia lelah masuk ke dalam hubungan ribet orang dewasa. Padahal kalau mau mereka punya banyak waktu untuk bertemu, tapi kenapa lebih memilih merecokinya?

Bulan :
'Mana aku tau.'

Sekarang Langit yang menghela napas, menyebalkannya mempercayakan semuanya pada Bulan adalah ini, adik iparnya itu cuek bebek. Dia tidak akan peduli dengan sakit hati Langit, dia selalu mengatakan apa yang ingin dia katakan.

Langit :
'Ya masa nggak cerita?'

Bulan :
'Kami nggak deket.'

Iya juga sebenarnya, Bulan dan Mentari hanya berbicara seperlunya ketika di rumah, mungkin juga karena jarak usia mereka yang jauh, Mentari sudah kuliah semester enam, sementara Bulan masih kelas satu SMP, sertinya keduanya memang tidak cocok.

Bulan :
'Telepon aja sih sendiri!'
'Dia masih di rumah kok.'

Langit membaca pesan itu, ini bukan masalah gengsi, tapi masalah prinsip, soalnya dia sendiri yang mencetuskan ide soal setahun kedepan. Aneh sekali kalau sampai dia sendiri yang tidak tahan untuk tak menghubungi Mentari.

Bulan :
'Aku tuh lagu pusing Bang!'
'Banyak tugas sekolah, jadi nggak punya waktu untuk ngurusin kak Mentari.'
'Capek banget lagi kalau harus laporan terus, harus mantau kegitan kak Mentari.'
'Padahal Abang sendiri punya nomornya, bisa ngehubungin langsung.'

Oke sekarang Langit kena omel anak umur dua belas tahun. Apa memang dia lebih kekanakan dari Bulan sekarang? Memang belakangan ini Langit sangat mengganggu, sangat wajar jika Bulan sampai protes, anak kecil mana yang tidak pusing jika dipaksa masuk ke dalam kehidupan orang dewasa? Dirinya dan Mentari saja hampir menyerah dengan masalah mereka, apalagi Bulan.

Langit :
'Gitu ya Bul.'
'Maaf ya kalau Abang ganggu.'

Dan ya mungkin sekarang Langit sudah tidak punya seorang mata-mata pribadi. Bulan sudah mundur dari tugasnya selama ini.

Oke maka dari itu Langit sudah tidak punya pilihan selain menghubungi Mentari secara langsung. Langit langsung saja menekan kontak Mentari, mencoba menelepon nomor tersebut tapi setelah menunggu beberapa detik sama sekali tidak ada jawaban. Langit menghela napas, mungkin saja Mentari sedang di kamar mandi atau mungkin sedang tidak di dekat ponselnya, jadi Langit mencoba menghubunginya sekali lagi, sampai panggilan ketiga masih tak ada jawaban.

Langit membuka kolom chat setiap pesan darinya sama sekali tidak ada yang berbalas. Memanggil namanya saja sama sekali tidak direspons oleh Mentari. Agak membingungkan, apa sekarang dia menjadi sosok yang tidak terlihat.

Langit :
'Aku tau kamu baca ini.'
'Aku perlu memastikan keadaan kamu baik-baik aja.'
'Jadi aku mohon angkat panggilanku!'

***

Mentari menjalani hari sebagaimana mestinya, enjoy tanpa merasa bahwa dirinya adalah seorang istri, tanpa beban bahwa dia harus bersikap lebih baik pada seseorang. Kehidupan seperti ini yang sebenarnya dia rindukan, ketenangan dan beban yang tidak begitu besar. Bebas bergaul dengan teman pria, tidak sungkan diantar pulang dibonceng motor dengan temannya, bebas jalan bareng, bebas makan dengan siapa saja, untuk sesaat keberadaan Langit tersingkir dari hidupnya. Tanpa berpisah dalam artian yang sebenarnya, tapi Mentari sudah merasa bahwa mereka berpisah.

Sampai pesan-pesan Langit menyadarkannya bahwa ternyata memang kehidupan tidak semudah itu. Ada banyak pesan, Mentari sengaja tidak membalasnya dengan alasan tentu saja sejenak menyingkirkan status mereka. Dia bukan wanita bersuami, setidaknya itulah yang pernah Langit katakan padanya.

Mentari menghela napas.

Mentari :
'Aku baik-baik aja.'

Jauh lebih baik tanpa kamu. Mentari melanjutkan kalimat itu di dalam hati, memang selalu begitu di benaknya mengatakan apa, yang dia sampaikan pada Langit apa, soalnya memang konsepnya tidak terlalu masalah tanpanya, tapi juga tidak ingin kalau dia tidak ada di dalam proses kehidupan.

Begitu mendapat balasan, Langit langsung saja menghubungi Mencari. Kalaupun ini adalah bukti bahwa dia kalah dalam pertandingan, maka Langit tidak masalah, tidak masalah untuknya merasa kalah yang penting bisa terhubung dengan Mentari. Entah ini rindu, tapi cukup menyiksa enam bulan belakangan.

"Hallo Tar!"

Mentari hanya diam, Langit yang menghubungi berarti ada sesuatu yang penting yang ingin Langit sampaikan, Mentari mencoba untuk hanya fokus dengan apa yang akan Mentari sampaikan.

"Kamu di sana, 'kan?" Karena tidak kunjung ada jawaban Langit memutuskan untuk bertanya.

Mentari menghela napas. "Ada apa?"

Ah meski pertanyaan itu terkesan ketus tapi benar-benar menenangkan perasaan Langit setelah mendengar suaranya.

"Nggak ada apa-apa, cuma pengen denger suara kamu."

Mentari menjauhkan layar ponselnya, melihat nama Langit di layar ponselnya itu. Kenapa tiba-tiba aneh begini?

"Ya udah aku tutup ya?" Jika tidak ada yang penting maka Mentari tidak perlu membuang waktu, bukan?

"Jangan!"

Langit panik sendiri, menghubungi Mentari itu susah, jadi dia tidak mau harus mengusahakan hal yang itu-itu lagi.

"Kamu lagi di mana?"

"Lagi di kafe deket kampus."

"Ngapain?"

"Cari wifi, ngerjain tugas." Mentari benar-benar hanya menjawab pertanyaan Langit seperlunya, sama sekali tidak ada niat bertanya balik, obrolan ini terkesan berjalan satu arah.

"Kenapa sih nggak mau angkat telepon aku? Nggak mau balas chat aku juga?" Barulah Langit protes.

"Belum satu tahun, masih enam bulan."

Langit terdiam mendengar itu, ya terus? Masa mereka harus menunggu satu tahun hanya untuk sebuah komunikasi?

"Misi kita belum selesai." Mentari melanjutkan kalimatnya, Langit sendiri yang mencetuskan ide evaluasi selama satu tahun untuk mereka, susah seharusnya Langit tidak melupakan soal itu.

"Persetan soal itu semua, aku cuma mau tau keadaan kamu."

Sangat membingungkan, Langit selalu seperti itu, tidak pernah tegas dengan segala keputusannya.

"Kamu mau apa?" tanya Mentari. Pelanggaran begini bukannya berarti kalau mereka melanggar dan pelanggaran seharusnya memiliki solusi.

"Mau denger suara kamu, mau memastikan kamu baik-baik aja, mau kamu pokoknya."

Mentari kira malah dirinya dan Langit pada akhirnya benar-benar saling melupakan. Melenyapkan begitu saja apa yang sempat terjadi di antara mereka, setelah satu tahun Mentari kira mungkin Langit akan langsung melayangkan gugatan cerai terhadapnya. Bertindak seolah menginginkan Mentari seperti ini benar-benar membingungkan.

"Jangan bercanda."

"Nggak bercanda!"

"Tunggu sampai enam bulan ke depan dan mungkin kita akan berhasil saling melupakan." Masih ada enam bulan lagi untuk mereka evaluasi diri, dalam kurun waktu itu pasti akan banyak yang berubah di antara mereka.

"Aku kangen kamu."

"Kangen aku tapi menghabiskan waktu sama pacar kamu? Omong kosong banget!"

Tidak sepenuhnya salah, tapi belakangan Langit benar-benar jarang menghabiskan waktu bersama Winda. Mentari juga kangen, tapi rasa curiganya ke Langit jauh lebih besar dan dia tidak mau luluh sedini ini.

"Apa pun soal pikiran jahat kamu, tapi kayaknya aku nggak bisa menuntaskan satu tahun seolah nggak peduli sama kamu. Kamu nggak ngapa-ngapain, tapi aku hampir gila mikir gimana kalau aku tanpa kamu."

***

Istigfar dulu yuk! 😇

Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang