Walau hanya dicek lewat alat tapi Langit yakin bahwa alat itu akurat dan Mentari memang sedang hamil sekarang ini. Habis nangis-nangis karena tidak Terima kalau akhirnya dia mengandung anak Langit, Mentari malah kembali kehilangan anerginya, dia muntah-muntah lagi sore ini. Sekarang makan malam dia menolak untuk memasukkan apa pun ke dalam mulutnya dengan alasan tidak selera. Sebagai suami siaga tentu saja Langit langsung mengambil peran, mencoba menyuapkan makanan ke Mentari. Meski sebenarnya Mentari sangat eneg padanya, tidak mau menatapnya, tapi Langit tidak menyerah, perihal anak dalam kandungan Mentari adalah sepenuhnya tanggung jawabnya.
Mentari menolak dan akhirnya makanan berat sulit masuk ke perutnya, Langit mengusahakan dengan memotongkan buah dan dengan sabar membantu Mentari makan. Ada yang aneh di sana, selepas Mentari mengatakan dengan sungguh-sungguh ingin pisah dari Langit, kini keduanya malah tampak manis dengan saling membantu satu sama lain. Mentari juga terlihat tidak menolak perlakuan Langit, sudah sejak sejam lalu mereka berdua tidak meninggalkan meja makan karena memang Mentari susah makan semenjak sakit.
Mama Mentari ikut bergabunb kembali di meja makan. "Sabar banget ya kamu." Tentu saja kalimat itu ditujukan untuk Langit. Mentari sudah memutar bola matanya malas, bukan sabar tapi memang harus bertanggung jawab.
"Mentari hamil, Ma."
Lalu hening, Mentari semula agak membelalakkan matanya karena Langit sangat terang-terangan, menurutnya mereka butuh waktu untuk mengatakan semua ini. Dia tahu mereka hanya sebatas dinikahkan, bukan diminta menjalani semua ini sebagaimana mestinya.
Nia terdiam, selama ini dalam kacamatanya Mentari masih seorang anak gadis yang memang masih tinggal dengan mereka. Dia masih belum sepenuhnya yakin kalau Mentari sudah menikah karena memang seperti tidak ada yang berubah, kalau diingat-ingat kembali baru sekali padahal Mentari ke Bandung.
"Jadi?" tanya Nia.
"Mual muntahnya itu karena perubahan hormon yang biasa terjadi buat ibu hamil. Kami udah cek juga, tinggal cek ke dokter aja."
Mentari juga sudah tidak punya tenaga untuk menyangkal segala omongan Langit, jadi biarkan sajalah. Lagipula memang itu kenyataannya, kalau ini salah ya salah orang tuanya juga, kenapa menikahkan mereka?
Nia melipat kedua tangannya di depan wajah, fokus menatap kedua anak yang sebenarnya masih butuh banyak bimbingan di hadapannya, apalagi sebenarnya beberapa waktu lalu Mentari masih sangat gencar mengatakan bahwa dirinya ingin berpisah dari Langit.
"Apa kalian udah siap untuk punya anak?" Bukan karena Nia tidak bersyukur, tapi karena semula dia percaya kalau Mentari dan Langit pasti paham prioritas mereka berdua, selama ini mereka menjalani semuanya sebagai mahasiswa, dengan kesibukan itu seharusnya mereka paham mana prioritas masing-masing.
Langit menghela napas, sementara Mentari sama sekali belum mengangkat kepalanya semenjak mamanya datang menghampiri mereka.
"Kalian pasti sudah belajar banyak di sekolah, soal kontrasepsi dan sejenisnya, apalagi Langit kan mahasiswa kedokteran."
Langit mengangguk, ya dia paham bahwa mungkin mereka harus mencegah. Tapi di dunia ini ada beberapa hal yang sebenarnya tidak terduga, sama seperti asal-usul anak mereka saat ini. Langit datang ke hotel sebenarnya hanya untuk menyelesaikan masalah, rupanya Mentari salah sangka, mereka menyelesaikan masalah, tapi dengan cara yang tidak biasa. Itulah mengapa pada akhirnya Mentari hamil.
Nia menatap anak perempuannya sendiri, sekarang mana kata pisah yang sebelumnya gencar sekali dia utarakan?
"Ada beberapa hal yang terjadi di luar dugaan." Hanya itu yang bisa Langit jawab.
Nia menghela napas, papa Mentari menyusul bergabung. "Ada apa?" Cukup heran karena semua orang terdiam.
"Mentari hamil."
Migdad langsung membelalakkan matanya, bagaimana bisa? Ah dia lupa telah menjabat tangan seorang pemuda untuk menyerahkan anaknya itu. Tapi bagaimana bisa?
Langit diam, karena memang menurutnya dia tak perlu meminta maaf soal apa pun, mereka berada dalam sebuah ikatan dan kehamilan bukanlah aib jika terjadi di dalam sebuah pernikahan. Migdad ikut terdiam, Langit agak miris sih karena reaksi orang-orang atas kehadiran anaknya.
Langit mengambil tangan Mentari menggenggamnya, meski belum sedewasa itu, meski masih banyak keraguan bahkan dalam dirinya sendiri, Langit akan tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk Mentari, semampunya. Mungkin Mentari membencinya, mungkin sekarang ini dia bukan suami yang baik, tapi cukuplah Mentari yang merasakan hal itu, anaknya jangan sampai merasa bahwa dia adalah ayah yang buruk.
Dalam tundukan kepalanya, Mentari menatap tangannya yang digenggenggam Langit, seberapa banyak tangan yang juga pernah di genggamnya dan ditenangkan begini? Ah sial! Mentari rasanya tidak pernah bisa berpikir positif ke Langit, bukan kesalahan yang sangat besar, tapi memang cukup membuat Mentari kecewa berat karena pada akhirnya dia hanya sampai pada opsi, tidak dengan pilihan Langit.
"Langit akan tetap bertanggung jawab!" Langit mengatakan itu tanpa keraguan.
"Hamil, artinya kalian nggak bisa pisah." Itu adalah ungkapan Migdad ke Mentari karena tempo hari anaknya mengungkapkan itu.
"Akan tetap pisah, setelah anak ini lahir." Sangat bulat keputusannya mengakhiri semuanya, untuk apa bertahan kalau bukan tujuan yang Langit miliki sekarang? Mempertahankan Winda artinya mempertimbangkan kehidupan yang lebih serius ke cewek itu bukan? Jadi sudah pasti Mentari harus mundur.
Langit menoleh, sekeras apa dia harus meyakinkan Mentari?
Migdad menghela napas, Nia juga. Mentari hanya tidak mengerti bahwa menjadi orang tua berat, apalagi menjadi orang tua tinggal. Lebih-lebih dalam keadaan tidak siap begini.
"Langit akan terus temani Mentari, bertanggung jawab sama semua hal yang sudah terjadi, memperbaiki apa yang salah."
Migdad merasa semuanya pasti sudah sangat serius, kenapa sampai akhirnya Mentari ngoyo sekali meminta pisah, bahkan saat tahu kalau dirinya hamil.
"Bukan karena kamu hamil, makanya minta pisah?" tanya papanya.
Mentari menggeleng.
Langit menghela napas, kenapa harus pisah? Dia mulai membenci kata itu!
"Terus? Langit di sini, menemani kamu sekarang, Papa lihat dia ngelakuin yang terbaik buat kamu."
"Dia punya pacar." Mungkin aib suaminya harus dia lindungi, tapi Mentari punya batas, sampai di mana Langit terlihat sempurna di mata kedua orang tuanya, saat itulah kesebaran Mentari berakhir.
Kini atensi dua orang tua itu terfokus pada Langit, menuntut banyak penjelasan.
Langit mengangguk, tidak mau berbohong dengan orang tua Mentari. Menang itulah kenyataannya, bahkan sampai hari ini Winda masih berada di sisinya.
"Kenapa?" tanya Migdad, dia mencintai anak perempuannya, tapi tentu saja tetap butuh tahu apa yang sebenarnya Langit cari. Dia bisa memahami situasinya bahwa memang Langit dan Mentari menikah dalam keadaan tidak mengenal satu sama lain.
"Karena, sebelumnya memang Langit udah punya pacar." Sejauh ini dan Langit masih memutuskan untuk jujur. Dia pernah berbohong dan kebohongan itu kelihatannya sangat melukai Mentari, jadi Langit tidak mau melakukannya lagi pada kedua orang tua Mentari.
Migdad menghela napas, dia menatap istrinya sendiri, tentu saja keputusan mereka di awal sangat berpengaruh dengan apa yang terjadi sekarang ini.
"Kamu sudah dua puluh dua tahun, rasanya sudah cukup dewasa untuk memahami mana yang baik dan nggak. Kamu juga sudah bisa menentukan prioritas kamu, Papa cuma mau bilang, ambil keputusan, pikirkan yang terbaik, sebelum Papa menuruti keinginan Mentari."
***
Aku nurutin pembaca kok guys, diminta suruh hamil udah tak bikin hamil, diminta Mentari tegas buat pisah juga udah, diminta kasih tau ortu mentari yang sebenarnya ini akhirnya di kasih tau. Apa lagi?
Selamat menjalankan ibadah puasa guys! Semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT!
Jangan lupa vote & comment!
Kalau aku gabut bakal triple up sih kayaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentarinya Langit
Romance~Young Adult *** Bagaimana jika kedua orang tuamu menghadiri pernikahan sepupumu, tapi tiba-tiba kamu yang hadir secara virtual dinikahkan juga? Itulah yang dialami Mentari. Ketika orang tuanya sampai di rumah mereka sudah membawa menantu yang nota...