27. Ungkapan Menyakitkan

6.2K 547 57
                                    

Mentari memutuskan untuk tidak menceritakan apa pun  soal yang terjadi di Bandung begitu dia sampai di rumah. Bahkan sudah seminggu sejak kejadian itu, sudah seminggu pula Mentari mengurung dirinya di kamar. Ada malu, kesal dan amarah yang tidak bisa dia ungkapkan pada siapa pun, semuanya pada akhirnya dia telan bulat-bulat sendirian. Langit salah, sangat salah, tapi entah kenapa masih ada diingatan Mentari perihal bagaimana cowok memperlakukannya, masih saja Mentari menganggap bahwa ada kebaikan dalam diri Langit.

Seminggu ini Mentari hanya menghabiskan waktu di kamarnya, mengabaikan semau chat atau panggilan yang masuk ke ponselnya. Dia galau, dia merasa sesak, padahal sangat yakin kalau Langit tidak akan merasakan yang sama.

Mentari tidak pernah berpacaran sebelumnya, jarang sekali memasukkan orang lain ke dalam hidupnya dengan landasan cinta. Jadi ketika dirinya hampir mencoba cinta, memberikan segenap perasaannya pada seseorang dan ternyata seseorang itu menyakitinya. Rasanya sakit sekali, dunia seolah runtuh dan Mentari banyak bertanya, apa dia pantas untuk ini semua?

Sekarang sudah tidak ada lagi, dia telah memberikan dirinya dan segenap perasaannya pada seseorang yang sepertinya juga malah tidak sadar kalau perasaan Mentari sedalam itu terhadapnya. Pandangan Mentari tertuju pada bingkai foto berisi foto Langit ketika mengucap ijab qabul di kampung. Bukan dia yang menempelkan itu di sana, itu sudah ada di sana sejak Mentari kembali ke rumah.

"Tar! Ada Sekar nih!"

Mentari menatap ke arah pintu kamarnya, untuk apa temannya itu datang? Padahal Mentari sengaja menatikan ponselnya agar tidak ada yang mengganggu.

"Buruan turun! Masa temennya dibiarin nunggu sih?!" Sepertinya memang mamanya sengaja agar Mentari keluar dari kamarnya soalnya memang Mentari jarang sekali keluar kamar seminggu ini, hanya jika dia butuh makan dia baru akan keluar.

Mungkin Mentari butuh bertemu dengan seseorang agar pikiran yang menghantuinya tidak mambuat kepalanya hampir pecah begini. Dia pusing sekali seminggu ini, mengobrol dengan Sekar mungkin akan membuat perasaannya lebih baik.

"Suruh masuk aja!" Mentari akhirnya mengeluarkan suaranya, Sekar sudah biasa main ke rumahnya, jadi  sudah sering masuk ke kamarnya tanpa diminta.

"Iya ini gue udah masuk." Dan Sekar langsung muncul di kamar Mentari, gadis itu menutup pintu kamar.

Sekar langsung menghampiri Mentari yang berada di atas kasur sembari menutup seluruh kepalanya dengan selimut.

"Are you zombie?" tanya Sekar terheran-heran, Mentari adalah sosok yang sangat mementingkan penampilan dan hari ini dia terlihat sangat berantakan.

"Lebih ke odgj sih." Mentari menjawab sembari memutar bola matanya malas. Sudah tahu dia tidak baik-baik saja, masih saja Sekar bertanya.

Sekar tertawa lantas ikut mendudukkan dirinya. "Lo kenapa sih, seminggu full nggak kuliah, di mata kuliah penting juga lo nggak dateng. Gila sih!"

"Galau brutal!"

Sekar menatap Mentari, temannya itu adalah sosok yang paling jarang cinta-cintaan dan Sekar sangat mengenalnya. Sekarang Mentari mengaku kalau dirinya galau? Sampai brutal lagi, galau soal apa?

"Nggak mungkin!"

"Gue ngegalauin laki gue! Dibilang gue udah nikah. Noh, fotonya!" Mentari menunjuk foto yang tertempel di kamarnya dengan dagunya.

Sekar mengangguk-angguk. "Kenapa?" tanyanya penasaran.

"Mau cerai gua!" Tidak ada keraguan saat Mentari mengatakan itu.

Sekar melongo, mereka seumuran dia mendapat pacar yang serius saja belum. Mentari malah sudah persiapan mau jadi janda.

"Janda perawan dong lo." Masih saja soal ini.

"Udah nggak!" Dan Mentari miris dengan itu karena dia baru sadar kalau dirinya sudah tidak perawan oleh Langit, tapi sekarang dia malah sangat ingin berpisah dari cowok itu.

"Kalau lo hamil gimana?! Gila kali mau pisah! Emang pernikahan sesuatu yang bercanda!"

Sialnya Mentari tidak berpikir hingga ke sana sebelumnya. Bagaimana jika dia hamil? Maka dia akan terus membutuhkan Langit.

***

Malam ini Langit datang, mengemudi sendiri dari Bandung sana. Patut diacungi jempol sebenarnya tekatnya untuk menemui Mentari. Tapi tentu saja Mentari sedang sangat kesal padanya. Mentari mengabaikannya meski dia sudah berada di kamar Mentari sejak satu jam lalu, wajahnya tampak lelah, tapi Mentari juga lelah menghadapi kelakuannya. Ada banyak kejutan dalam hubungan mereka, tapi Mentari tidak sangka kalau sampai ada kejutan yang melibatkan hati lain, perasaan dari cewek lain. Dalam mimpi pun Mentari tidak pernah ingin menjadi selingkuhan, hanya karena dia tampan dan nyaris sempurna di mata Mentari, itu tidak akan membuat Mentari mempertimbangkan apa pun jika urusannya sudah menyangkut perasaan perempuan lain.

"Mungkin kamu lagi nggak pengen denger kata maaf, tapi aku kangen."

Mentari tertawa, dia percaya? Tentu saja tidak! Bagaimana bisa seseorang merindukannya, padahal di hatinya terdapat perasaan untuk perempuan lain dan seminggu sudah berlalu, hal yang paling mungkin adalah Langit menghabiskan waktu bersama Winda selama di Bandung.

"Aku mau kita pisah!"

Mentari mengatakan itu tanpa keraguan, Langit harus tahu bahwa dia tidak begitu ingin mempertahankan apapun soal Langit.

Langit menatap Mentari. "Kamu pikir ulang dulu."

"Aku punya satu pertanyaan." Mentari yang sejak awal tidak menatap ke arah Langit, kini langsung menoleh ke arah Langit. Menatap pria itu, menunggu responsnya.

"Apa?"

"Winda atau aku?"

Pertanyaan itu akan menjadi jawaban atas keputusan yang akan Mentari ambil nanti. Dia sudah menyerahkan segalanya, sudah melakukan yang terbaik untuk Langit, kalau keputusan Langit memang bukan soal dirinya maka satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah beranjak dari kehidupan pria itu. Untuk apa bertahan pada seseorang yang sebenarnya tidak menginginkanmu?

Langit diam, perihal rindu yang dia sampaikan dia sama sekali tidak berbohong. Seminggu ini Mentari memenuhi kepalanya, menjadi bagian dari rasa bersalah juga ingatan yang tidak bisa dia enyahkan soal malam itu. Sekarang Mentari malah memintanya berpisah, apa yang bisa dia lakukan sekarang?

"Aku berusaha melakukan yang terbaik buat kamu. Yang aku bisa."

"Bukan itu jawabannya. Aku atau Winda?" Mentari mengulang pertanyaannya, dia butuh sebuah kepastian untuk memastikan jalan seperti apa yang bisa dia ambil.

Sementara Langit tentu tidak bisa memberi jawaban, Mentari adalah istrinya, sementara Winda adalah pacarnya. Mungkin untuk sebagian orang beranggapan bahwa sudah seharusnya Langit memilih Mentari sebagai istrinya, tapi Winda lah yang selama ini selalu ada untuk Langit. Menemani setiap proses yang Langit lalui, gadis itu menemani Langit dalam setiap fase kehidupan Langit, lebih-lebih mereka sudah tiga tahun. Tidak mudah mengenyahkan sebuah perasaan dan komitmen yang sudah dibangun sejauh itu.

"Keterdiaman kamu adalah jawaban buat aku. Jawabannya bukan aku kan? Buat apa bertahan dalam hubungan yang orang lain sebenarnya yang ingin, sementara kamu nggak."

Langit menatap Mentari, sesingkat inikah perjalanan mereka?

"Karena kalau kamu bersikeras kita harus bertahan, kayaknya seseorang yang berpotensi besar mengalami kesakitan yang lebih dalam adalah aku. Karena ini di luar kendali aku dan kayaknya aku jatuh cinta sama kamu."

***

Berhubung cuaca lagi panas banget, updatenya malem, biar agak dingin hawanya. Biar bunda bunda sekalian nggak ikut pusing sama kelakuan Langit.

Jadi gimana?

Pisah atau nggak? Kalau pisah ganti judul sih🤣🤣🤣

Tapi aku sayang bangettt sama couple ini, kayak nggak apa apa sakit sakit dulu, nanti juga nemu bahagianya.

Segitu aja deh, jangan lupa vote & comment!

Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang