48. Quality Time

7.4K 634 40
                                    

Langit langsung melihat ke sana kemari mencari siapa yang Mentari maksud, sampai akhirnya Winda keluar dari persembunyiannya, maju menghadap Langit dan Mentari. Bagaimana respons Mentari? Dia santai kembali melihat-lihat bahan makanan yang tersusun di rak.

"Jadi ini yang kamu lakuin selama di Jakarta?" tanya Winda, dia bertanya pada Langit, tapi jiwa Mentari sungguh tak tenang jika tidak ikut nimbrung.

"Maksudnya? Salah gitu seorang suami nemenin istrinya belanja?" tanya Mentari.

"Gue nggak nanya lo!"

"Gue cuma jawab apa yang nggak bisa suami gue jawab!"

Winda tampak kesal, Langit hanya diam di tempatnya, Langit benar-benar tidak suka keributan apalagi di tempat umum seperti ini.

"Sekarang gue yang tanya, nggak malu ngikutin suami orang? Suami! Lo kalau mau ribut di sini juga gue nggak takut! Dia suami gua dan apa pun yang udah lo jalani sama dia selama ini, status gue sebagai istrinya jauh lebih tinggi dari lo!" Sebenarnya Mentari ingin sekali langsung saja ke intinya mendaratkan tamparan ke pipi Winda, seperti yang waktu itu dia Terima, tapi mungkin Mentari bisa bilang kalau dia lebih berperikemanusiaan.

"Kamu ngomong dong!" Winda mengguncang lengan Langit berusaha meminta pembelaan.

"Kamu ngapain di sini?" Winda menatap Langit dengan pandangan tidak percaya, pertanyaan macam apa itu?

Mentari menarik sudut bibirnya. Dia ingin sekali mentertawakan situasi ini, padahal dia sendiri tidak berusaha untuk menang, tapi keadaan seolah memang sudah berpihak padanya. Mentari kembali melanjutkan langkahnya.

"Ayok sayang." Tentu saja itu adalah ajakan terhadapa diri Langit, dia hanya mau membuat Winda sadar bahwa sudah tidak ada kesempatan untuk maju, dia sudah menjadi bagian dari kehidupan yang Langit miliki.

"Lo!"

Mentari menahan tangan Winda yang berusaha menjambak rambutnya. "Apa?! Nggak malu ya lo? Ngebet banget buat jadi istri dokter? Kenalin ini istrinya!" Mentari mengempas begitu saja tangan Winda. Dia juga tidak tahu keberanian dari mana yang dia punya sekarang, mungkin karena keadaan yang memaksanya untuk menjadi seperti ini.

"Udah udah!" Langit justru menarik Mentari, memegang pinggang istrinya itu untuk berdiri lebih dekat padanya. Tentu saja itu membuat jiwa Winda semakin kebakaran.

Winda tertawa sebelum akhirnya angkat kaki dari sana, tidak menyangka kalau akan mendapatkan penolakan se mengenaskan ini. Mentari menoleh menatap Langit.

"Kamu baru aja kehilangan pacar kamu." Mentari mengingatkan.

Sayangnya Langit terlalu percaya diri bahwa Winda tidak akan pernah pergi darinya. "Sekarang aku cuma nggak mau kehilangan kamu."

Mentari tertawa, jadi begini rasanya melihat seorang Langit tampak bucin. Mentari membelai pipi suaminya itu, persetan dengan posisi mereka di pusat perbelanjaan sekarang.

"Terima kasih untuk itu."

***

Langit tentu saja tidak bisa lepas begitu saja dari pemikiran soal bagaimana keadaan Winda sekarang? Tapi juga tetap menikmati waktunya bersama Mentari. Justru setiap waktu rasanya ingin dia rekam di memorinya, karena ini adalah waktu berharga yang belum tentu bisa dia dapatkan setelah ini. Hanya menikmati waktu berdua di kamar, tapi rasanya Langit benar-benar tidak mau kehilangan apa pun.

"Jadi kamu putus?" Tanya Mentari, kurang ajarnya dia menolak Langit, tapi dengan suka rela menyandarkan tubuhnya pada tubuh pria itu bahkan memainkan jari-jemari Langit.

Langit tidak menjawab, karena memang belum ada kepastian soal itu.

"Dia cinta banget sama kamu kayaknya." Mentari juga sama sih, tapi sekarang dia lebih sering menggunakan logikanya, karena terlalu membawa hati membuatnya tersakiti sendiri.

Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang