11. Bumbu-bumbu Kehidupan

8K 628 17
                                    

Langit tidak jadi mandi dan berujung tidur di kamar Mentari. Gadis itu benar-benar tidak melepaskan Langit. Bahkan untuk pertama kalinya sebagai suami dan istri mereka tidur dengan posisi saling memeluk. Begitu bangun Langit langsung disadarkan dengan tangan kebas karena semalaman menopang kepala Mentari. Tapi begitu melihat wajah sang istri, dia sama sekalai tidak tega untuk membangunkan. Karena itu Langit memilih menunggu, dia memperhatikan wajah Mentari secara keseluruhan, benar-benar sederhana dan imut. Kelihatan tidak seperti umur dua puluh satu tahun. Tangan Langit terangkat membelai kepala Mentari, menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah tersebut. Sulit menjabarkan soal perasaannya, perlahan dia hanya mulai merasa bertanggung jawab atas gadis di sebelaunya ini.

Mentari melenguh, ketakutan yang menghantuinya membuat tidurnya malam ini jauh lebih nyenyak dari biasanya. Sadar bahwa yang menopang kepalanya bukan bandal, Mentari menoleh dan langsung mendapati wajah Langit. Sesaat keduanya saling berpandangan, Langit menipiskan bibirnya, sementara Mentari yang sadar seketika langsung mendorong tubuh Langit.

"Apa yang terjadi?" tanya Mentari, dia menyelinapkan anak rambutnya ke belakang telinga. Shock karena sepagi ini sudah berada dalam posisi tidak wajar.

Langit mengempas-empaskan tangannya berusaha menetralkan kembali aliran darahnya. Sudah pegal, malah dapat dorongan pula.

"Nggak ada apa-apa!" Langit ikut panik, karena tadi malam Mentari tampak ketakutan, jangan bilang kalau dia mimpi yang aneh-aneh.

Mentari menghela napasnya. Gadis itu berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia kemudian menatap Langit dan teringat dengan kelakuannya tadi malam yang tidak mau ditinggal.

Mentari langsung menutup wajahnya dengan selimut. Tidak bisa, ini tidak bisa, benar-benar memalukan.

Langit sendiri justru heran melihat itu.

"Kenapa?"

"Maluuuuu."

Langit terkekeh.

"Aku suami kamu tau."

Ngapain juga malu, toh mereka wajar saling melindungi satu sama lain. Lagipula Langit tidak akan pernah merasa keberatan jika Mentari selalu membutuhkan pelukan darinya.

Langit mendekat ke Mentari, tapi Mentari langsung mengacungkan telapak tangannya meminta Langit untuk berhenti.

"Cringe banget akuuuu!"

Oh begini kalau Mentari sedang malu-malu. Langit tertawa, kali ini sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, sungguh tidak menyangka kalau hari ini di mulai dengan hal manis begini.

Tanpa meminta persetujuan Mentari, Langit langsung mendekap tubuh gadis di hadapannya. Bukan perihal dia mengambil kesempatan dalam kesempitan, tapi entah kenapa hal manja yang Mentari tunjukkan menariknya untuk melakukan hal tersebut.

"Maafin ya karena ninggalin kamu satu harian."

Mentari berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Matanya mengerjap beberapa kali, jadi ini dunia suami istri?

"Udah bikin kamu ngerasa takut. Setelah ini janji nggak bakal ninggalin sampai malem."

Mentari mendongak untuk melihat wajah Langit, sayangnya dia tidak menemukan celah. Langit benar-benar serius dengan perkataannya. Jantung Mentari hampir copot saat Langit mencium puncak kepalanya, lama seolah menghayati ciuman tersebut. Mentari hanya bisa menelan ludahnya sendiri beberapa kali, ah kalau begini, walaupun tidak tahu banyak soal kehidupan Langit, bukan tidak mungkin Mentari akan luluh duluan.

***

Langit mungkin tidak peka untuk urusan hati atau batasan dengan lawan jenis. Tapi laki-laki itu cukup peka dengan urusan perut. Begitu bangkit dari kasur, yang pertama kali Mentari urus adalah urusan pakaian kotor, dia memutuskan mencuci pakaian miliknya juga milik Langit. Memang Langit tidak rapi karena bahkan pagi ini Mentari masuk ke kamarnya dan banyak baju berserakan di atas kasur. Tapi kalau urusan masak, sepertinya itu hobi untuk Langit. Mentari sendiri tidak ambil pusing, kalau memang Langit mau melakukannya, ya silakan. Toh, pekerjaan rumah tangga tidak melulu menjadi tanggung jawab istri, Langit masih kuliah dan sekarang mereka berdua dalam posisi sedang libur atau bahasa kerennya sedang menganggur bersama, rasanya tidak salah jika saling membantu.

Langit menghampiri Mentari ke ruang cuci, Laki-laki itu selalu tampak lucu dengan apron yang melapisi bajunya.

"Kamu ada alergi?" tanya Langit, dia mungkin akan lebih berhati-hati dalam memasak jika Mentari memiliki Alergi.

"Nggak ada."

"Suka pangsit?"

"Suka kamu."

Langit langsung membungkam mulutnya sendiri. Jangan sampai dia baper sepagi ini, itu bukan gombalan yang terlalu bagaimana-bagaimana, tapi kalau dikatakan hanya di hadapan mereka berdua, kok Langit tidak kuasa untuk tidak merasa spesial.

"Serius."

"Suka." Mentari menjawab singkat.

"Suka kamu. Enggak deng, suka pangsit." Kurang ajar! Mana mengatakan itu sambil memisahkan cucian lagi, baju dengan baju, celana dengan celana, kemudian pakaian dalam dengan pakaian dalam.

"Oke."

"Lucu ya."

Langit yang semula sudah akan beranjak dari sana. Mengurungkan niatnya, dia memutar kembali tubuhnya untuk melihat apa yang dilakukan Mentari, tidak ada yang sedang melawak, apa yang lucu.

"Sempak kamu sama sempak aku akhirnya berada di ember yang sama."

Kontan saja itu membuat Langit terbahak, pemikiran macam apa itu. Melihat Langit terbahak Mentari malah tersenyum kikuk. Dulu dia sempat membaca meme soal ini dan sekarang akhirnya dia merasakan itu.

Takut tambah gila, Langit memutuskan benar-benar beranjak dari sana dan melanjutkan kegiatan memasaknya. Biarkan saja Mentari dengan segala pemikiran randomnya.

Mentari sendiri agak canggung sebenarnya, dia tidak punya saudara laki-laki, tapi kini harus mengurus, urusan pakaian dalam seorang pria. Ah begini rupanya rumah tangga. Selain berdampingan sebagai manusia, barang-barang mereka juga selalu berdampingan. Seperti celana dalam Mentari yang dijemur di sebelah celana dalam Langit, padahal mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

***

Langit memasak mie dengan toping pangsit, isi udang. Begitu selesai dengan mencuci pakaian, menyedot debu di beberapa ruangan, akhirnya Langit dan Mentari bisa duduk tenang di meja makan.

Mentari mencium aroma mie yang Langit masak, sungguh menggugah selera, apalagi untuk perutnya yang memang belum diisi apa pun hari ini.

"Kamu dokter makanan juga ya?" Soalnya daripada terlihat seperti calon dokter, Langit lebih cocok menjadi chef sepertinya.

Langit terkekeh.

"Aku bisa apa aja, jadi dokter cinta kamu juga bisa."

"Gombal deh." Mentari memukul lengan Langit pelan, masih pagi jangan sampai dia melelah padahal matahari belum sampai di peradabannya.

Langit terkekeh lagi, mereka adalah dua manusia aneh yang kebetulan terjebak di dalam dunia pernikahan. Sebelumnya ngambek-ngambekan, Mentri bahkan punya banyak kalimat yang sudah dipersiapkan untuk marah karena kemarin Langit pergi seharian, tapi mie pangsit menyelamatkan Langit dari itu.

"Udah makan, keburu dingin."

"Kayak sikap kamu."

Langit menoleh, kapan dia dingin terhadap Mentari? Dia berusaha selalu memberikan kehangatannya.

"Pas awal ketemu."

Kemudian Mentari terkikik, apa mereka perlu tidur bersama setiap hari agar suasana hati Mentari selalu sebaik ini setiap pagi?

Langit menempelkan punggung tangannya ke jidat Mentari, tidak ada yang salah, tapi kenapa seperti ada yang salah?

Mentari hanya tertawa, biar saja, suasana harus selalu cair, kalau kaku-kaku terus nanti Mentari sendiri yang gila.

***

Karena cerita ini nulisnya ngalir, masih bingung mau banyakin ke uwuan atau nangis nangisnya wkwkwk

Menurut kalian harus gimana?

Jangan lupa dukung terus Mentari untuk bermanja ria ke Langit!

Mentarinya LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang