Mbah Cangkir

32 12 0
                                    

Hujan menjadi rahmat bagi mereka yang terus mencari kebaikan Tuhan. Sebaliknya, akan menjadi petaka pada mereka yang semaunya sendiri. Banyak penceramah bilang, apalagi ketika mengisi mauidzoh dalam walimatul ursy. Bersamaan dengan turunnya hujan sudah diprediksi akan dhawuh "turunnya hujan bersama suatu hajat akan menambahkan suatu kenikmatan. Rahmat pengeran turun memberkahi hajat, semoga kedua temanten diberkahi dan dirahmati pengeran." Pada bagian itu entah hanya untuk menghibur sohibul bait, para tamu undangan atau memang punya alasan tersendiri dari dalil aqli maupun naqli, saya kurang tahu. Yang jelas, turunnya hujan akan melimpahkan suatu keberkahan.

Pada suatu sore. Sepulang kerja aku sudah berniat akan membeli sarung batik di Waung Mode. Tempatnya tidak jauh, 5 km berjarak dari tempat kerja, 15 km berjarak dari rumah. Jadi, total jarak rumah dan tempatku bekerja 20 km. Perjalanan 35 km harus melewati alas, yang tidak lebih panjang dari alasan wanita menolak tawaran cinta. Melewati bukit kecil, rumah-rumah warga hanya segelintir, berpenghuni orang-orang sudah bau tanah. Memang hanya orang-orang yang memiliki keberanian tingkat tinggi untuk bermukim disana. Konon mereka yang ada disana sudah mendapat stempel keturunan yang mbabat alas. Desas-desus keberadaan mereka sudah tersebar sampai kemana-mana. Kalau tidak salah, bagi keturunan Mbah Cangkir yang di tangannya memiliki toh bergambar seperti huruf "C", ialah yang akan menjadi penerus juru kunci alas tersebut. Alas cangkir. Mendengar namanya seolah sudah klise. Akan tetapi, magisnya alas cangkir mungkin sebanding dengan pantai parang tritis. Bagi siapa saja yang tinggal disana tanpa punya stempel keturunan Mbah Cangkir; akan tidak diketahui keberadaannya. Memang magis, banyak pantangan-pantangan yang harus dipatuhi. Salah satunya, bagi siapa saja yang melewati alas cangkir, baik mereka yang hanya istirahat santai; dilarang berbicara tidak sopan. Di pintu masuk dan keluar alas tertuliskan "Mbah... Amit putumu badhe liwat". Mungin kata-kata itu semacam ijin supaya selamat. Bagi siapa yang tidak membaca tulisan itu, mereka tidak akan sampai-sampai pada tujuan, apalagi keluar dari alas itu.

Kemagisannya sudah dikenal para penyair. Sudah sejak kerajaan Majapahit; konon Mbah Cangkir ialah salah satu kawulo kerajaan yang bertugas membuatkan cangkir untuk minuman para raja. Keahliannya dalam membuat cangkir sangat lihai, gambar apa pun yang diminta oleh raja Majapahit bisa ia buatkan dalam waktu semalam. Gamabar seruwet apa pun bisa ia kerjakan dalam satu malam. Berproses melalui jalan tirakatan melek wengi dan secangkir kopi, ditemani keheningan malam sudah menjadi rukun sah membuat cangkir.

Mbah Cangkir adalah kawulo kerajaan paling disegani. Banyak para penyair dari berbagai penjuru dunia yang cocok dengan cangkir buatan Mbah Cangkir. Konon. Para penyair banyak menerbitkan puisi-puisinya dengan perantara cangkir dari Mbah Cangkir. Ada juga yang hanya menggunakan cangkir hasil buatan Mbah Cangkir akan mendapatkan sejuta inspirasi untuk menulis puisi. Cangkirnya memang mengandung hawa spiritual. Setiap mereka yang hendak memakai untuk ngopi, terlebih dulu membaca mantra "smilahirrokhmanirrokhim...howo olo minggat, Rahmat Pengeran ora tau minggat".

Mbah Cangkir pernah dinikahkan dengan putri Majapahit, dewi Sekar Kembang. Ia adalah putri paling diidam-idamkan dari berbagai kerajaan. Sesuai dengan namanya Sekar Kembang; aroma kecantikannya tercium di mana-mana, keindahan senyumnya menjadi ruang tinggal para patih dan raden. Suatu saat, karena gandrungnya Raja Senja pada ketulusan Mbah Cangkir, yang ketika masih muda selain ahli dalam berkarya juga mempunyai wajah bagus, perawakan ndedek duwur, blengah-blengah. Sayangnya Mbah Cangkir berasal dari keluarga kawulo biasa. Akan tetapi, Raja Senja tidak memandang itu; ia melihat ketulusan Mbah Cangkir muda dalam mengabdi bisa merawat putri emasnya, Dewi Sekar Kembang.

Setelah beberapa waktu lamanya mengabdi, akhirnya Raja Senja menikahkan putri Dewi Sekar Kembang dengan Mbah Cangkir muda. Lain halnya dengan mereka yang mencintai Dewi Sekar Kembang sangat tidak terima. Mengapa putri sesempurna itu dinikahkan dengan orang biasa. Hal ini akan mengurangi kesakralan keturunan kerajaan.

Beberapa saudara Raja Senja banyak yang tidak setuju dengan keputusan yang diambilnya. Sebab hanya akan memalukan keluarga kerajaan; kebiasaan adat kerajaan akan ngunduh mantu dengan putra atau putri raja juga. Akhirnya orang-orang yang tidak terima terhadap keputusan Raja Senja mengadakan rapat tersembunyi, guna membuat Mbah Cangkir muda diusir dari kerajaan. Banyak ancaman yang di terima Mbah Cangkir muda; panah bersurat yang isinya untuk meninggalkan kerajaan beserta istrinya, penghancuran seluruh karya cangkir yang sudah dipesan para penyair, santet gaib yang dilancarkan ketika malam tiba. Dari ketika sabotase tersebut, nomer tiga sudah tidak mempan lagi pada Mbah Cangkir. Karena tirakatnya yang selalu terjaga malam, juga puasa-puasa sejak muda, Mbah Cangkir kebal santet. Sampai pada waktu kesabarannya habis, Mbah Cangkir memilih untuk meninggalkan kerajaan tanpa pamit kepada Sang Raja Senja. Ia tidak ingin mengadukan permasalahan yang ia hadapi. Akhirnya pergi dan meninggalkan pesan kepada istrinya "Kelak, keturunan kita akan ada toh hitam di tangan seperti huruf "C". Aku titip calon anakku. Jagalah, Dik. Maafkan kakang yang meninggalkanmu, sebab aku tidak ingin berkelanjutan dengan runtuhnya kerajaan, juga aku tidak ingin membuat gelisah Romo. Aku selalu menyayangimu, Dik."

Pesan terakhir Mbah Cangkir muda yang membuat putri Dewi Sekar Kembang gelisah. Mengurungkan diri selama hidupnya hanya untuk menunggu kembalinya Mbah Cangkir muda.

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang