Sejarah Kota Penyair

20 10 0
                                    

Kepergian Mbah Cangkir ialah kepergian air dari tungku. Kepergian Mbah cangkir mengantarkan duka kedua api setelah kehilangan kekasihnya. Tak ditemukan lagi sosok kawulo kerajaan yang setia. Tak dijumpai ada kepergian dalam sebelum ini. Mbah Cangkir selain menjadi sosok kawula, juga menteri penasehat Raja. Kabarnya tak bantahan, tak ada penerjemahan kembali kata-kata yang diucapkan Mbah Cangkir pada Raja Senja. Ia sangat disegani.

Dalam tradisi orang Jawa kuno, bagi siapapun harus memandanghilangkan status untuk menghormati orang lain. Semua harus saling menghormati. Mungkin, selaras dengan "undur maa koolaa, walaa tandzur man koolaa", lihatlah apa yang dikatakan, dan janganlah melihat siapa yang mengatakan. Bila cinta dikatakan anak muda, bisa saja banyak maksudnya. Akan tetapi bila cinta yang dikatakan anak berdasarkan tangis, mungkin tidak ada maksud selain tidak ingin ditinggal ibunya. Perkataan senantiasa menjadi tajam bila disertai kesadaran. Hal ini tersingkap dalam hati Sang Raja Senja, penghormatannya kepada siapa pun tanpa pandang bulu, terkhusus kepada Mbah Cangkir.

Kabar kepergian Mbah Cangkir terdengar di telinga para penyair. Kabarnya puisi-puisi mengalami kemacetan. Lampu perkotaan mati tanpa diketahui kapan akan menyala kembali.

Konon katanya kehidupan di kota para penyair, para waarganya bercocok tanam puisi. Ia hanya dihuni beberapa ratus orang, di antaranya Mbah Cangkir pernah tinggal disana. Namun,  karena ia memiliki skill yang berbeda dengan warga lainnya, Mbah Cangkir memilih untuk meninggalkan Kota Penyair. Karena skill yang dimiliki mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Ia tidak bisa berlama-lama membiarkan cangkirnya tidak bertuan. Akan kepada siapa lagi ia berharap cangkirnya terbeli. Terjual cangkirnya sebulan hanya tujuh. Alih-alih itu tidak cukup sebagai bekal kehidupan sebulan. Selama di Kota Penyair, puasa lebih kerap ia lakukan ketimbang bekerja. Karena tak ada yang lain bisa dikerjakan selain membuat kerajinan cangkir. Disana adalah tempat puisi diproduksi. Buku-buku membentuk taman. Penerbitan hampir ada di setiap Desanya. Tidak gemen-gemen sepuluh penerbitan ada di setiap desa. Selain memiliki usaha penerbitan, warga lainnya bekerja menjadi penulis.

Hasil dari tulisan akan diterbitkan sendiri di desanya. Untuk pendistribusian tak pernah dikhawatirkan lari kemana. Kota penyair menjadi pusat cetakan buku serta karya-karya terbaik. Sudah pasti tulisan-tulisan yang ada disana dinantikan diluar kota. Pengiriman antar negara biasa dilakukan warga biasa. Ekonominya maju. Istilah kelaparan tidak ditemukan, apalagi tinggal di kolong jembatan. Akan tetapi, untuk bisa tinggal disana, persyaratannya yang harus dipenuhi rumit sekali. Pertama, siap menjadi warga jomblo yang baik. Kedua, pernah patah hati. Ketiga, suka kopi. Keempat, sedang menjalani rindu. Syarat kelima menjadi syarat berat; betah dengan kesunyian, keheningan, kesendirian. Kelima syarat tersebut harus ditempuh dengan melakukan ikrar jomblo yang ditulis di atas kertas putih, bentuknya harus puisi. Puisi yang dikirimkan nantinya akan diseleksi oleh Walikota setempat. Bila dirasa masuk kriteria, maka akan langsung ditempatkan bersama para jomblo-jomblo di Kecamatan Kangen. Disana penduduk baru dikarantina selama pitung tahun. Sekalian sebagai pembelajaran, itung-itung magang yang harus diselesaikan. Meski magang, penduduknya tetap diberikan gaji. Heran kan?  Menjadi penduduk saja digaji. Konon pendistribusian gaji secara cuma-cuma diberikan untuk mengurangi khas Kota Penyair yang lebih. Sudah tak ada lagi pembangunan yang diperlukan. Kotanya indah, tertata rapi seperti  koran Jawa Pos. Dimana-mana terdapat tulisan. Tembok- yang digunakan berbahan dari kertas. Gaji cuma-cuma kepada penduduknya diambil dari pajak warganya yang bermata pencaharian penulis.

Pertanyaannya, mengapa Mbah Cangkir bisa tinggal disana? Padahal keahlian menulis tidak dimilikinya. Rumor-rumor yang terdengar. Dulunya ia pernah melakukan negosiasi kontrak dengan  Walikota Penyair. Dalam negosiasinya Mbah Cangkir ingin bekerja sama untuk kemajuan penyair, yakni dengan berdagang cangkir. Akhirnya walikota tersebut mempersilakan dengan berbagai pertimbangan.

"Hai anak muda
Kalau boleh aku mencoba hasil karyamu ,coba berikan aku satu cangkirmu"
"Baiklah, Pak." Mbah Cangkir lantas mengambilkan cangkirnya yang bergambar perempuan sedang sendirian. Rambutnya dikibaskan angin di pinggir pantai.

"Menjadi warga Penyair. Dalam memanggil pejabatnya harus dengan "ndoro". Dengan sesama warganya boleh nama langsung, boleh dengan "bestie"."
"Baiklah, Ndoro"
"Cangkirmu bagus. Aku suka. Btw, filosofi gambar di cangkirmu apa?"
"Perempuan itu lemah lembut. Kuat menyendiri, tapi lebih senang untuk dicintai. Tergambar ketika rambutnya disapa angin, begitu anggun sekali. Jadi, perempuan sudah anggun. Akan tetapi, keanggunannya lebih dominan ketika ia dicintai. Seperti kata penyair Mesir, Anis Mansour, Tuhan menciptakan perempuan untuk dicintai, bukan untuk dipahami."

"Kalau begitu, bagus. Aku membeli pitu cangkirmu. Untuk persediaan ketika sewaktu-waktu pecah."
"Baiklah, ndoro"

Beliau bernama Ndoro Husein. Orang pertama yang membeli cangkir dengan jumlah pitu. Dalam Jawa, pitu bermakna pitulungan; pitulangan gusti pengeran. Mungkin dengan pitu tersebut, Ndoro Husein ingin hidupnya terus mendapatkan pitulungan.  Aku yakin sekali bila orang sebijak beliau sudah mengetahui istilah ini. Maka dari itu aku tidak menanyakan terkait perkataan "pitunya".

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang