Masuknya Mbah Cangkir di Kota Penyair

25 9 0
                                    

Sepuluh tahun sebelum menjadi kawulo kerajaan,  Mbah Cangkir menetap di Kota Penyair dengan berbagai lika-liku perjalanan hidup. Umur lima tahun sudah hidup bersama kakeknya, Sunan Watu Kenceng. Neneknya juga sudah undur diri menjalani kehidupan. Semasa hidupnya Mbah Cangkir diasuh dengan berbagai ilmu kehidupan. Sejak kecil sudah dididik cara berjuang. Hidup seadanya, sederhana, ia lebih senang berpuasa. Sifat tegen Mbah cangkir diadopsi dari kakeknya yang merupakan salah seorang tokoh masyarakat yang disegani dengan berbagai ilmunya. Umur yang masih belia tanpa  mengenyam kasih cinta bapak ibunya.

Umur lima belas tahun Mbah cangkir mulai ingin hidup mandiri, tidak ingin merepotkan Kakeknya. Keinginannya untuk uzlah  sudah bulat. Ia sudah mewajarkan semua yang terjadi pada dirinya. Legowo dalam hatinya sangat kental, tanpa pernah membanding-bandingkan orang lain, iri kepada kehidupan orang lain. Memang sejak hidup bersama kakeknya, Sunan Watu Kenceng, ia dibekali cara untuk memahami kehidupan. Sunan Watu Kenceng jarang berbicara, ia lebih condong mencontohkan pelajaran dengan tingkah laku. Karena ia sedang menjalani nadzarnya sendiri seumur hidup akan lebih banyak tidak berbicara, kecuali yang bermanfaat. Kecondongannya dalam mengajari Mbah Cangkir lewat perilaku lebih disukai. Tidak banyak yang dikatakan. Api tanpa panas tidak akan menghasilkan apa-pa, Hujan tanpa air hanya menyisakan gerah, tangisan tanpa air mata hanya berbuah sandiwara. Kalimat tanpa tulisan hanya berwujud angan -akan hilang ditelan waktu. Begitu juga kebaikan tanpa dilaksanakan hanya akan membuat sarung kedororan, tegese, sarung tanpa ditali. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf, "teori tanpa praktik hanya omong kosong". Keduanya penting, hanya saja Sunan Watu Kenceng lebih nyaman berada di praktiknya.

Singkatnya, di umur lima belas tahun Mbah Cangkir pergi menuruti arah batin. Hingga sampai di Kota Penyair. Dulu untuk memasuki kota itu tidak banyak syarat, yang paling penting Jomblo dan hafal Pancasila. Disana orang pertama yang dijumpai ialah Sukadi, seorang perintis toko foto copy. Ia orang pertama kali yang menyambut dan menyuguhkan kopi. Mengenalkan pada orang lain, mendaftarkan kepada pejabat sekaligus Ndoro Husein, seorang  Walikota Kota Penyair. Sukadi dengan sangat terbuka mengajak Mbah Cangkir berbincang- bincang.
"Silakan diminum, Mas. Ini teh sari wani, bukan mbak sari yang wani, ya... Heueheu"
"Btw, kamu siapa, dari mana, Mas?" Sukadi kembali menyela perkataan.

"Saya, Paku Pranoto Suko Agomo Kanti Pertelo. Tapi lebih dikenal dengan Mas Cangkir, sebab di daerahku dulu aku menjadi seorang pembuat cangkir bersama Kakek Sunan Watu Kenceng. Maka aku sering dipanggil Cangkir. Kirr..kirr... Awas jangan ditambah huruf "rik", kesannya terdengar blotong nanti."
"Jadi namamu sepanjang jalan Warujareng-Kediri? Panjangnya namamu jaraknya tidak terukur oleh pengetahuanku. yawis, kamu saya panggil Mas Kirr saja, ya?"
"Ya, itulah nama yang tersemat dari kakekku. Pastinya ada filosofi tersendiri. Akan tetapi, sampai sekarang belum pernah saya tanyakan. Karena saya yakin, pelan-pelan rahasia akan terbuka sendiri.  Aku tidak menanyakan arti namaku, karena pasti sebuah nama disematkan dengan maksud memperpanjang doa. Sebab, mulut dan hati punya rasa lelah. Mungkin, nama diciptakan untuk menjadi jembatan doa. Titik koordinatnya sebuah  nama bukan pada artinya, tetapi ada pada keberadaannya. Tanpa sebuah keberadaan, sebuah nama hanya menjadi usang."

Keduanya berbincang sambil menyeruput teh hangat. Nampaknya Sukadi sedang malaksanakan "falyukrim dhooifahu", memuliakan tamu dengan minuman teh. Selain itu, adab menyuguhkan minuman juga ia perhatikan sekali; menghadapkan gagang cangkir di sebelah kanan, tujuannya untuk memudahkan seseorang meminumnya. Tanpa krengkelan muter dulu untuk memegang gagang cangkir. Ya, kalau minumannya dingin. Kan semacam teh lebih pantas dihidangkan dalam keadaan panas, hangat. Bila tidak ada gagangnya malah akan merepotkan si peminum -Ibu jari yang bertugas sebagai tumpuan akan kepanasan dan akhirnya enggan meminum  sampai agak dingin memberanikan lagi nyandak cangkir.

Aku mendapatkan pelajaran ini dari Mbah Sunan Watu Kenceng yang kerap kali didatangi tamu untuk sekadar meminta saran, mengobati sakit gigi, mencari tanggal pernikahan yang cocok. Pernah sekali kulakukan, karena kekhilafan saya Mbah Sunan Watu Kenceng menampik tangan saya dan memberi kode dengan jarinya membentuk huruf C. Saya awalnya lholak-lholok. Setelah saya pikir terlalu lama, akhirnya Mbah menyempurnakan sendiri posisi gagang cangkir yang mleot arahnya.

Bunga diberikan nama supaya mudah dikenali. Supaya manusia bisa menghargai keberadaannya. Karena, makam akan diakui keberadaannya bila terdapat nama yang tertulis di nisannya.

Semerbak aroma bunga akan menghancurkan wangi, bila tak pernah ada istilah wangi. Manusia akan hilang keberadaannya bila tanpa sebuah nama.

Nama adalah aroma yang menghantarkan manusia pada keharuman. Nama adalah doa yang terus mengalir menghantarkan permintaan. Tugas nama persis sama tugas cinta; ia bertugas mengenalkan, ia bertugas menyampaikan, kemudian menyatukan.

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang