Mulut Orang Tak Bisa Begitu Saja Dipercaya

6 1 0
                                    

Untung aku bekerja di Pabrik senja. Meski nyatanya sebagai pabrik yang memproduksi sepatu alias pabrik sepatu. Aku begitu menikmati bekerja di sini. Walau sebelumnya orang-orang pernah mengatakan bekerja di pabrik sepatu itu lembab, penerangannya kurang, harus bergelut dengan uap, debu dan lain-lain. Setelah aku diterima dan masuk di pabrik ini aku semakin yakin bahwa perkataan seseorang tak bisa dipercaya langsung seratus persen, karena yang dikatakan jelas tidak sama persis seperti keadaan yang ada. Perlunya mendengarkan saran seseorang hanya sebagai jaga-jaga atau bentuk kehati-hatian, bukan sebagai referensi atau sandaran tetap, terkecuali bila seseorang itu benar perkataanya disertai suatu pembuktian yang baik serta secara pengetahuan dan kecerdasan yang ada padanya.

Perkataan manusia memang tidak serta merta benar. Apakah seseorang itu bisa dijadikan rujukan bisa diketahui dengan ciri-ciri perkataannya selalu benar dan teruji berkali-kali bukan sebab tebakan, omongan ketidak sengajaan, melainkan sebab kealimannya atau dalam keilmuannya. Kemudian cocok dengan pekerjaan  yang digeluti. Seperti perkataan Kang Dobos tentang isi pabrik dengan segala keadaan di dalamnya tidak bisa dibenarkan. Sebab, aku sendiri telah membuktikan penerangan cahayanya tak kurang-kurang. Ada semacam lampu petromak yang didesain secanggih mungkin untuk mengeluarkan cahaya kuning ke oren-orenan, semacam senja di sore hari menjelang waktu maghrib. Dinding-dindingnya digravity dengan lukisan-lukisan debur ombak yang setiap aku melihatnya hatiku merasa tak cukup tangguh menahan debar rindu pada seseorang. Entah siapa orang itu masih menjadi pertanyaan besar. Seperti status udara, rindu ini kuhirup setiap saat, tapi aku tidak bisa melihat kepada siapa rinduku akan tunduk.

Kemudian kelembaban yang dibilang juga tidak benar. Kang Dobos yang kuketahui ialah seseorang yang kerap kali duduk-duduk di belakang warung depan pabrik sambil tangannya mengoperasikan hp sembari menunggu jackpot atau meledak hasil nge-chipnya. Tentang kelembaban dalam pabrik tidak kutemukan, sebab ruangan seluas itu disediakan ac sebanyak aku menyebut kangenku.

Kemudian tak kudengar suara berisik dari mesin penjahir, sebab disana ada puisi Sapardi "Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana" terus berbisik. Terkadang malah aku tidak menyangka sudah banyak sepatu yg jadi karena hatiku sibuk berdzikir puisi "Tuhan yang maha cinta, perluaslah kebun cintaku, semoga kau tumbuhkan benih-benih rindu dari sepotong senyum senjaku".
 
Pabrik ini memang agak lain menurutku, dimana posisi bau kopi tak lebih kalah dari asap mesin di ruangan pabrik ini. Bau-bau rindu menyeruak di sela-sela ingatanku. Aku masih tidak mengerti apakah ini hanya aku yang salah atau orang-orang tidak mengerti?
 
Kemudian aku keluar ruangan sejenak karena jam istirahat sudah berbunyi. Aku hanya ingin memastikan yang kualami apakah sebuah kebenaran atau cuman ilusi belaka.
 
Aku segera membeli kopi di warung dekat pabrik, lumayan satu jam istirahat cukup untuk melaksanakan sholat dan merefleksikan punggung-punggung pegal. Kemudian aku membawa segelas kopi dengan rokok dji sam soe sambil mencari kebenaran persoalan ilusi atau kenyataan.
 
"Langit aku ingin bertarung, seberapa tinggi tingkat bucinku dengan tempatmu?"
"Langit aku ingin menguji, seberapa jauh ketidakjelasan antara debar jantungku dan burung terbang di tempatmu?"
 
"Angin aku ingin mendengar siapa yang lebih kuat antara aku dan kamu, jika semua yang hidup di bumi mampu kau gulung dengan mudah, coba debar cintaku pada Lare Senja kau habiskan tak tersisa."
 
Aku masih termenung sambil menyeruput kopi di depanku, sesekali aku mengebulkan asap dari mulutku berbentuk "O". Kagetku bertambah curam ketika asap rokok yang ku tiup berubah menjadi  "love". Aku terperanjat kaget sampai kakiku melakukan selebrasi dadakan, menggulingkan kopi di depanku. " Asem, kopi baru diseruput tiga kali malah kutah".
 
Aku kembali bertanya-tanya, apakah ini jawaban angin yang hendak menggulung cintaku pada Lare Senja? Atau jangan-jangan ini seperti yang pernah dikatakan Mbak Siti Saroh alias Lare Senja ini, "bahwa siapa saja yang berteman apalagi hidup bersamanya akan mengalami sebuah kesialan". Aku menepis anggapan ini dengan kuat " Halah, ya karena ini polahku saja".

Seketika kubuat status dengan tagar #mositidakpercayasial. Mana mungkin Tuhan menciptakan wanita dengan sebuah kesialan? Bukankah wanita adalah makhluk mulia dengan segala fafifu-nya. Bisa jadi itu hanya terjadi sekarang. Mungkin suatu ketika setelah Lare Senja menemukan pujaan hatinya, kesialan itu akan dibakar oleh kasih sayang orang yang mencintainya. Lalu kesialan-kesialan itu akan lenyap dihapus oleh tirakatan  sembilan bulan mengandung seorang anak.
 
Tett... Tett... Tett... Bel jam kerja berbunyi, tanda mulai masuk kembali. Aku sesegera mungkin lari ke Mushola untuk melaksanakan sholat duhur. Meski pimpinan dan mandor pabrik tak pernah memarahi karyawan karena hatinya seputih awan dan maafnya sebanyak hujan. Bukan itu yang membuatku berlarian ke Mushola, tapi karena ini menjadi kewajibanku sebagai hamba.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang