1/ Sebuah Kepulangan

21 10 0
                                    

Alas Cangkir, adalah alas yang membawakan keindahan panorama. Suasana asri masih seperti pertama kali; belum terjamah para penebang hutan. Penjagaan ketat dilakukan untuk mengantisipasi hutan menjadi ramai. Penjagaannya tanpa tentara hutan, tanpa pengawasan polisi hutan. Alas itu dijaga dengan didiamkan. Karena, diam bisa berpotensi banjir, potensi amarah, berpotensi dikucilkan. Justru dijaga dengan pengawasan, akan malah memberikan celah kepada mereka yang berniat menyalahgunakan. Alih-alih berniat lewat, dalam rencananya ingin menggundul habis-habisan isi alas tersebut. Keramaian mempunyai potensi meremehkan. Kehati-hatian akan diabaikan, melihat orang lain ada yang bertindak abai sepertinya. Ramai berasal dari biasa. Bisa juga biasa adalah buah yang dihasilkan ramai. Tapi, aku lebih mengonfirmasi ramai menghasilkan biasa -artinya dengan meramaikan sama artinya harus siap menerima tidak dispesialkan.

Banyak terjadi taman-taman indah menjadi rusak setelah terekspos. Makam yang sebelumnya dihargai, disegani -setelah terekspos menjadi biasa, dibuat tidur-tiduran, diduduki. Meskipun kadang ada rambu-rambu untuk tetap menjaga perkataan, menjaga kesopanan, berhati-hati dalam rangka tidak merusak. Itu akan abai saja dihadapan mereka yang mengingat butuhnya sendiri; untuk berfoto, membuat konten untuk menarik viewer. Walau kadang kala juga semakin banyak yang berziarah, itu artinya harus siap disikapi biasa.

Aku terjebak hujan di Alas Cangkir sepulang kerja yang terlalu sore. Aku begitu keheranan. Pasalnya dari tempat kepulangan kerjaku, mendung aman-aman saja. Waktu mendekati pintu masuk Alas Cangkir, tanpa ada tanda geluduk, angin gerah datang, hujan turun begitu deras. Aku meneruskan perjalanan dengan pikiran "mungkin ini dekat hujannya." Setelah 9 km meneruskan perjalanan, hujan tidak kunjung reda. Akhirnya aku memilih berhenti untuk sekadar ngiyup. Selain aku juga tidak membawa jas hujan, aku juga tidak kuat menahan kedinginan. Aku berhenti di sebuah rumah yang agak begitu kuno coraknya. Disana terlihat sepi. Aku memberanikan diri untuk duduk di emperan depan rumah kuno itu. Sambil melihat sekitaran rumah itu. Aku menemukan tulisan kecil di cagak emperan dari kayu itu. Penasaranku mendidih setelah melihat bentuk tulisan yang mirip puisi. Tidak panjang dan menurun ke bawah.

Aku mendekati dan membacanya,
"Demi malam, yang dihabiskan waktunya untuk tidur
Aku tidak melihat kekecewaan pada sepasang matanya: rembulan dan bintang
Demi rembulan, yang dibiarkan sendiri hidup di malam hari
Aku tidak melihat dadanya memancarkan kekecewaan

Demi waktu subuh, yang ditinggalkan ketiduran
Aku terus merasakan sejuknya pagi
Demikian aku, yang dipisahkan dengan kekasihku
Aku bersaksi, dadaku terus berdekatan dengan Dewi Sekar Kembang"

Melihat puisi tersebut, lantas aku kembali duduk ke lincak dengan menerka-nerka maksud dari puisi itu. Dari gaya bahasa yang digunakan terlihat nyata sekali. Tidak disusun dengan alih kata memperindah kalimat. Pesan yang disampaikan juga cukup dalam. Melihat dari bait ketiga "Demi waktu Subuh, yang ditinggalkan ketiduran. Aku terus merasakan sejuknya pagi" aku menafsirkan, mungkin, ketika orang yang menulis puisi ini dulunya pernah meninggalkan kekasih dengan sebuah situasi keterpaksaan. Lain sisi, kekasihnya masih memberikan aroma cinta pada dirinya.

Aku masih terus menerka dengan prasangka lain. Supaya aku tidak kehabisan kata ketika kelak ternyata tafsiranku salah. Atau mungkin ini hanya debar ketakutanku saja dalam menafsirkan maksud puisi disini. Mengingat, alas ini mistis. Meskipun tidak lebih mistis dari perasaan wanita. Seperti kata penyair Rendra: Perempuan bagai belut, meski telah kau kenali segala lekuk tubuhnya, sukmanya selalu luput kau genggam. Itu artinya mistisnya perempuan belum ada yang menandingi. Bila Alas Cangkir bisa menyasarkan manusia dengan keluasan tempatnya. Perempuan hanya dengan kedua matanya bisa membuat gila. Bukankah yang lebih curam dari sebuah keberadaan adalah tidak dipedulikan? Bahkan ada yang lebih mengerikan lagi selain ditolak cintanya seseorang, yaitu ketika berhadapan tanpa dianggap keberadaannya. Sama halnya di-read, tapi tidak dibalas. Mak cleng, hati ini.

Dalam hatiku mengatakan "artinya, bila sewaktu-waktu aku tidak kembali pulang lagi. Itu hanya sementara. Kapan waktunya akan kembali lagi." Perasaan itu setengah berani kuucapkan. Sebab yang sudah-sudah terjadi, memang beberapa orang hilang tidak ditemukan lagi keberadaannya. Entah aku yang tidak tahu atau memang sudah menjadi penghuni alas ini. Seketika itu aku merasakan tubuhku bergetar. Hujan tidak kunjung lerai, senja hari ini istirahat menyapa. Aku menjadi teringat kepada ibu.
Sumur yang tidak pernah kering, yang bibirnya terus basah dengan doanya. Langit yang tidak kutemukan mendungnya. Lautan yang terus mengibarkan debur kasih sayang, tanpa lelah menyuguhkan senja pada senyumnya.

Aku terus membatin. Ah, aku pernah waktu SMA kesasar. Tiga tahun akhlaqku tidak pulang-pulang seperti yang diharapkan Ibu. Tiga tahun aku tidak mengenali diriku sebagai anak Ibu. Mungkin ukuran jauhnya akhalqku pada harapan ibu lebih jauh dari mata memandang telinga tanpa bantuan kaca. Aku pamit sekolah, tapi tidak pernah debu yang menempel di seragamku jatuh di halaman sekolah. Hampir aku tidak dinaikkan kelas, hampir aku tidak diluluskan sekolah. Semuanya ibu hadapi dengan gentar. Ibu selalu mencariku meski kelihatannya diam. Ia rela menanggung kelakuan anaknya. Sampai suatu saat, aku benar-benar dipaksa pulang dengan tanpa menyentuhku. Aku bermimpi tanganku digandeng Ibu thawaf. Ketika di tengah perjalanan tiga kali putaran tanganku terlepas. Kami berpisah, aku begitu ketakutan tanpanya. Bagaimana kepulanganku nanti, apakah aku bisa pulang tanpa ibu, apakah aku sanggup tanpa Ibu?Mimpi itu seperti nyata. Labbaik Allahuma labbaik, Labbaik laa syarikka laka labbaik, Innal haamda wanni'mata laka wal mulk, Laa syariika laka...aku terus melafalkan. Aku tidak kuat lagi menahan. Hujan lebat benar-benar terjadi, hanya saja basahnya sampai di aku saja.

Aku hanya memikirkan Ibu... air mataku sudah deras-derasan mewakili perasaan kalut ini. Sampai akhirnya tujuh putaran thawaf aku melihat sosok Ibu berada di kejauhan tanpa melihatku. Aku segera cepat-cepat berjalan, menerobosi orang-orang besar, berbadan tinggi kekar. Tidak kupedulikan diriku bila terjatuh terinjak-injak. Aku hanya ingin cepat sampai di gandengan ibu. Sampai akhirnya aku kembali digandeng dan terbangun dari tidur. Tubuhku benar-benar basah, tidak menunggu lama aku mencari ibu untuk segera sungkem dan meminta maaf. Juga berjanji tak akan mengulangi lagi.

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang