Perempuan Pengeja Sepi

17 5 0
                                    

Perempuan itu lebih fasih bersikap diam, tidak seperti perempuan pada umumnya. Aku sering melihat dia sendirian ketika pulang kerja. Ia hanya diam di gazebo depan pagar bercorak kembang mawar sambil memandangi langit. Aku tidak tahu pasti apa yang ia tunggu di sana. Rasanya, ketika senja akan beranjak pergi, aku melihat kesedihan  mendalam akan mengucapkan selamat datang padanya. Dari kejauhan terlihat kepalanya menunduk sambil sesekali kedua tangannya menepuk-nepuk kedua pahanya. Ia masih bertahan di sana, entah apa yang ditunggunya lagi. Aku di sini masih mengawasi dari kejauhan.

Perempuan itu terlihat lihai mengeja sepi. Kesendirian menjadi tempat nyaman baginya. Diam-diam aku memperhatikan ketika jam istirahat kerja. Perempuan itu lebih senang menghabiskan waktunya menyendiri dengan buku yang ia bawa. Lagi-lagi aku melihatnya di gazebo sedang membaca-baca buku ketika teman-teman perempuannya sedang menikmati waktu istirahat dengan makan, bercanda, saling bercerita dengan tawanya yang lepas terlihat bahagia.

Suatu waktu rasa penasaranku mengutus hatiku untuk mengajak bicara. Tetapi, keberanianku masih dibawah rata-rata. Aku kembali duduk di tempat tongkrongan biasa untuk ngopi-ngopi sambil mendengarkan cerita-cerita dari orang sekitar pabrik. Pak Karto sebagai seorang pemilik warung sabar dan telaten meladeni banyaknya pembeli yang kebanyakan dari karyawan Pabrik Senja. Pabrik ini tempatku bekerja. Sudah hampir tiga tahun sejak aku lulus SMA menyalurkan tenagaku disini. Masyarakat di sekitar pabrik hafal namaku karena seringnya aku selesai bekerja mampir ngopi di warung Pak Karto sekalian menunggu jalanan agak sepi. Karena, mulai senja jalanan dipenuhi hewan sambar mata. Banyak yang lebih memilih di rumah saja menikmati waktu bersama keluarga.

Saat di warung Pak Karto kebetulan aku sedang ingin ngopi sendiri dan memilih duduk di bawah pohon jambu depan warung. Sekelibat aku terngiang wanita yang senang menyendiri tersebut.

Kalau dipikir-pikir kebiasaanku hampir sama dengannya. Kebiasaan lebih senang menyendiri padaku sama dengannya. Meski kadang masih ngobrol-ngobrol dengan orang lain, akan tetapi banyak waktuku lebih kugunakan menyendiri. Aku tidak merasa sepi, hanya saja ketenangan lebih kutemukan ketika sedang sepi. Apakah yang perempuan itu rasakan seperti yang kurasakan?

Kulihat waktu menunjukan pukul satu kurang seperempat. Sebentar lagi jam kerja akan mulai aktif kembali. Kopi yang baru kuseruput dua kali menyisakan penasaran pada perempuan sepi itu. Bergegas Pak kopinya kukembalikan ke Pak Karto, "Nanti saya minum lagi, Pak, selesai kerja" Pak Karto sudah hafal ketika kopinya ditinggal akan ditutup gelasnya dengan lepek yang ada.

Sampai di belakang gazebo, aku mencoba duduk dan menyapa. Sebenarnya hal ini sangat memalukan, belum kenal tiba-tiba saja duduk dan menyapa. Lah, gimana lagi kalau belum kenal tidak kenalan ya kapan kenalnya.
"Mbak... Permisi" Sapaku sambil mencari tempat duduk. Tapi, perempuan itu masih diam tidak menggubris. Mungkin, pikirnya ini lelaki kadal sedang akan menggoda. Kembali kusapa lagi dengan suara agak keras.
"Mbak..."
Wanita itu kemudian menengok setengah kaget. Sekujur wajahnya memperlihatkan kesedihan yang ia ratapi.  Aku kembali bertanya alasan mengapa ia sering menyendiri. Ia menghela nafas panjang, seakan memberi jawaban panjang. Ternyata, hanya menjawab sebuah peringatan "Mas. nanti sepulang kerja coba disini dulu. Kamu akan tahu alasanku mengapa begini."

Kulihat jam tanganku ternyata waktu sudah menunjukan pukul satu kurang tiga menit. Saya menanggapi jawabannya dengan menunduk senyum saja.

Perempuan itu lekas kembali ke tempat kerja. Sementara aku berjalan  di belakangnya. Mungkin, daun-daun di sekitar mendengarkan pembicaraanku tadi, paham ke arah mana nantinya.

Obituari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang