Chapter 4

72 13 0
                                    


   Gadis itu duduk santai mendengarkan Alana yang sedang menjelaskan. Ah wajah gadis itu nampak menarik saat sedang memperhatikan seperti sekarang. Nadia menguap dan mengedipkan matanya berkali-kali saking bosannya. Nadia melirik Reno yang sejak tadi melihatnya, bukannya tidak tahu tapi Nadia menahan mati matian untuk tidak terlalu percaya diri.

  Tapi sejak kejadian itu Nadia malah tidak berani. Bahkan Nadia tidak mengirim pesan ke lelaki itu karena masih merasa malu. Reno sialan memang, ia hampir mati tersedak air putih.

  "Lo kenapa?"

  "Ayang gue dari tadi lirik lirik, masa ya gak gue bales sih!" Bisik Nadia ke Dirga membuat sobatnya itu setengah mual mendengar betapa pedenya Nadia.

  "Ayang pala lo kejedot togor, gak usah ngarep deh lo."

  "Ye ngeyel." Nadia mendorong lengan Dirga membuat lelaki itu sedikit tergeser dari duduknya.

  Dirga dan Nadia memang satu sekolah, satu kelas, satu kampus, satu jurusan, satu kelas, satu organisasi di Hima, BEM-F, sampai BEM-U. Entah kesialan apa yang membuat mereka terus bersama. Nadia saja sangat bosan melihat Dirga selama kurang lebih 6 tahun belakangan ini.

   Ada banyak alasan mengapa ia lebih senang mengirimkan pesan random daripada mengejar-ngejar Reno secara langsung. Ia sadar kalau Reno sulit untuk dicapai, kesetaraan keluarga saja berbeda jauh.

  Reno menyimpan ponselnya, lalu melihat Nadia yang nampak kesal dengan pesan darinya barusan. Selesai rapat mereka bubar termasuk Nadia, gadis itu berpamitan dan langsung pergi dari sekretariat. Nadia langsung pulang, ia sudah lelah seminggu ini ngebut tugas. Sesampainya dirumah, ia langsung masuk ke kamarnya dan mandi. Setelah mandi ia menghempaskan badan ke kasur, baru beli karena kasur lama sudah tidak enak dipakai.

Terdengar sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah, Nadia mengintip dari jendela. Biasanya kalau enggak tamunya Vincent ya Larisa, Nadia mah tamunya paling cuma Caca, Dirga, sama Sadam. Karena tidak peduli Nadia mengakhiri kepo pada tamu dan kembali memejamkan mata.

  "Hm?" Kakaknya muncul dari arah pintu kamar Nadia. Perempuan itu mendekat dan duduk ditepi ranjang.

  "Kamu mau pergi?"

  "Enggak, mau tidur."

  "Habis maghrib kamu ke Mirota ya, bahan-bahan udah habis. Mbak ada seminar online habis ini, ajak masmu."

  "Iya, tapi soal sama mas Vin lihat ntar. Aku males banget kalau pergi sama dia, apa-apa gak boleh."

  Larissa tertawa, Nadia itu gampang sakit jadi kalau gadis itu tidak diawasi pasti jajan sembarangan dan berakhir tidak enak badan. Jadi Vincent selalu melarang membeli makanan yang sekiranya membuat sepupunya itu sakit. Larissa mengirimkan bukti transfer dari rekeningnya ke rekening milik Nadia. Juga daftar belanjaan yang harus gadis itu beli.

  Setelah itu Nadia kembali tidur, tidak lupa memasang alarm.

  Adzan magrib berkumandang, Nadia bangun dan duduk agak lama. Mengecek ponselnya, membalas pesan dari anak-anak yang memang ia abaikan sejak pulang kuliah tadi. Ia berganti lalu keluar dari kamar, mengambil air wudhu dan sholat maghrib terlebih dahulu. Setelahnya ia pergi dari rumah untuk groceries, mengajak Vincent walaupun ia juga yang menyetir. Sepanjang jalan Vincent cuma ngomel masalah kerjaannya yang tidak habis dan harus bolak balik Jogja-Semarang seminggu sekali.

  "Kantor banyak urusan gak?"

  "Lagi enggak. Oiya mas, pernah denger CV Makmur Sejahtera punya pak Hartanto di Jalan Bugisan gak?"

MemorableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang