41. Pangling

17 2 2
                                    

.
.
.

Tak terasa air mata Maira meluruh membuat Ghea kebingungan.

“Kenapa, Ra?”

Maira tersontak kaget.

“Ah iya? Kenapa, Ghe?”

“Kenapa nangis?” Ghea mengusap air mata Maira.

“Lagi sedih aja tau kabar Kak Maudy,”

Ghea hanya mengangguk paham. Meskipun dalam hatinya tetap terbesit tanda tanya. Maira memilih berbohong tentang masa lalunya. Baginya, kenangan buruk itu cukup sebagai pelajaran dalam hidupnya.

***

Adzan ashar berkumandang. Para siswa berlomba-lomba menuju masjid.

“Ra, bareng ke masjid yuk,” ajak Azriel.

“Gausah. Gua masih hapal jalannya,” jawabnya ketus.

“Dingin ya, Ghe,”

“Gak liat lu di bawah AC?”

“Oh iya,”

Arkan dan Bagas sebisa mungkin menahan tawa. Namun suara menjengkelkan di telinga Azriel itu tetap saja bisa lolos.

“Woi bro, seneng amat nyakitin diri sendiri,” sahut Arkan.

“Iya nih. Udah tau Maira kayak kulkas. Masih aja dideketin,” Bagas menambahi.

“Ya namanya juga usaha. Gimana sih lo,”

Usai sholat, Maira bergegas menuju lapangan.

“Em, Ra. Gue pulang duluan ya. Udah ada jemputan soalnya.” Ucap Ghea sembari memasang sepatu.

“Duluan aja, gapapa Ghe,”

“Dahhh. Semangat latihannya!” ucap Ghea berlalu.

“Bareng yuk,” tawar Azriel.

Kali ini Maira tidak ingin berdebat. Tanpa mengiyakan tawaran Azriel, dia hanya berjalan menuju lapangan dengan Azriel yang tidak berhenti senyum semringah.

Setibanya di lapangan, para siswa peserta karnaval serta anggota dan Pembina OSIS sudah berkumpul.

“Silakan berkumpul anak-anak,” titah Bu Sri.

“Kemarin kami sudah tentukan konsepnya yaitu persembahan kompilasi dari beberapa tarian daerah. Nah, di sini sudah ada Kak Utami yang akan mengajarkan kalian tentang koreografi. Ibu mohon untuk latihan sungguh-sungguh karena karnaval sebentar lagi,” lanjutnya.

“Baik buuu,” seru mereka.

“Silakan nak!” titah Bu Sri pada Utami.

Utami pun mengerjakan tugasnya sebagai pelatih. Maira yang terlihat sangat kaku mulai meracau.

“Susah banget sih gerakannya,” protes Maira dengan suara rendah.

“Kenapa, Ra?” tanya Azriel yang sedari tadi memperhatikan Maira.

“Susah banget, Jiel,”

“Namanya latihan pertama, Ra,”

Maira hanya berdehem.

“Gimana, dek? Bisa?” tanya Utami.

“Susah banget kak. Gimana sih ini?”

Utami tersenyum, lalu mulai mengajar Maira dengan sabar. Memang gerakan tangan dan kaki ini lumayan sulit, namun Maira tetap ingin belajar meskipun lontaran kalimat mengeluh tidak henti keluar dari mulutnya.

Dan latihan selesai kurang dari dua jam.

“Mau aku anter?” tanya Azriel.

Maira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Bucin Insyaf Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang