Bab 3

504 82 7
                                    

Aku terbangun karena suara berisik. Suara anak kecil tertawa keras sekali. Aku terdiam dalam posisi masih berbaring. Bulik Tanti tidak punya anak kecil. Anaknya dua. Yang satu SMA dan satunya sudah kuliah di luar kota. Suara tawa itu begitu renyah dan terdengar bahagia.

Aku bangun memasang telinga dalam kondisi siaga. Ah, suara itu dari luar. Aku bangun dan menghampiri jendela kamar. Jendela kamarku model jendela rumah kuno. Terbuat dari kayu jati dengan dua daun pintu yang mengarah ke luar. Sebagai pengaman ada teralis kuno yang bisa dibuka ke arah dalam. Ada vitrase warna putih untuk menghalangi akses visual orang luar ke dalam rumah sehingga aku bisa melihat keluar dengan leluasa tanpa perlu khawatir orang luar melihatku.

Jendela kamarku mengarah ke rumah Yuda. Rumah kami bersebelahan dengan hanya berbatas tanaman Acalypha siamensis atau yang biasa disebut tanaman teh-tehan. Tanaman tersebut rajin dipangkas sehingga hanya mempunyai tinggi setengah meter.

Dari bangunan rumahku ke pagar tersebut ada sekitar lima meter jaraknya yang dihiasi dengan berbagai macam tanaman. Tanahnya tertutup rumput gajah mini. Bulik Yanti memang wanita yang sangat pandai mempercantik rumah. Namun sebenarnya rumah Eyang ini sudah asri sejak dulu. Hanya semakin indah ketika Bulik Yanti mengambil alih pengelolaan rumah. Eyang putri masih sehat, hanya fisiknya sudah tidak kuat untuk mengurus semua hal di rumah ini.

Dari pagar teh-tehan tersebut ke rumah Yuda juga mempunya jarak yang hampir sama tetapi sudah full plester batako meskipun tetap asri karena dihiasi berbagai pot bunga.

Dulu Yuda sering melompati pagar tanaman tersebut untuk langsung masuk kamarku. Katanya lebih praktis daripada dia harus keluar lewat pagar dan masuk ke rumahku. Dasar anak bandel. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Anak bandel cerdas yang selalu menginginkan aku sepintar dia agar selalu bisa satu kelas dengannya. Namun, apa daya nilaiku selalu pas-pasan sehingga selalu berada di kelas yang bukan unggulan. Ketika itu masih ada kelas-kelas model unggulan.

Suara anak perempuan itu semakin keras. Menjerit-jerit dan tertawa. Karena rumahku adalah rumah kuno yang lumayan tinggi pondasinya, sehingga meski tidak tingkat tetapi dari kamarku bisa melihat aktivitas di halaman rumah sebelah. Ternyata Noni sedang belajar naik sepeda dengan ayahnya. Tidak jauh dari mereka kulihat Yuda sedang bermain skipping.

"Ough!" jeritku tertahan ketika Noni tiba-tiba melaju oleng dan menabrak pagar teh-tehan. Mas Indra dan Yuda langsung berlari mendekat dan menolong Noni yang terjerembab di tanaman tersebut.

Yuda menyingkirkan sepeda dan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Mas Indra menggendong Noni kemudian mendudukkannya di tempat yang lebih nyaman. Kulihat Mas Indra menenangkan Noni yang menangis keras. Diperiksanya sekujur tubuhnya. Tangannya, kakinya semua diperiksa dengan seksama.

Tidak berapa lama Yuda keluar membawa secangkir air putih dan sepertinya first aid box. Air putih diserahkan pada kakaknya dan oleh Mas Indra diminumkan ke Noni. Kemudian dengan cekatan Yuda membuka kotak first aid tersebut dan mengambil sesuatu. Setelah itu mereka berdua tampak dengan serius mengobati luka-luka Noni. Ah, semoga lukanya tidak parah.

Ketika Yuda membereskan semua perlengkapan pertolongan pertama tersebut kulihat Mas Indra terus memeluk Noni. Diusapnya kepala hingga punggung belakangnya. Kemudian beberapa kali dilonggarkannya pelukan tersebut. Diusapnya air mata Noni. Dikecupnya pucuk kepalanya berulang kali. Nonipun memeluk ayahnya dengan erat. Seperti tidak mau terpisahkan.

Takterasa air mata ini menetes menyaksikan adegan tersebut. Noni tumbuh sangat baik. Ayahnya terlihat sangat mencintainya. Kurasa dia tidak kekurangan kasih sayang sama sekali. Ada rasa sakit yang teramat perih di dalam dadaku.

Entah salah penglihatanku atau hanya karena halusinasiku, tiba-tiba Mas Indra mengangkat kepalanya dan menatap ke arah jendela kamarku. Aku terkesiap langsung bersembunyi di balik tembok di samping jendela. Ya Allah, seharusnya dia tidak bisa melihatku kan? Aku diam sesaat. Kemudian aku mengintip lagi lewat vitrase jendela kamarku.

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang