Sembilan tahun yang lalu (2013)
"Yud, Mas Indra pulang nggak?" bisikku pada Yuda yang masih asyik mengerjakan soal-soal persiapan menghadapi Ujian Akhir SMA dan persiapan masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Yuda meletakkan bolpoinnya dan menatapku tajam.
"Emang kamu udah selesai ngerjainnya?" Yuda melirik kertas folioku yang masih kosong. Kami sedang berada di kelas Bimbingan Belajar ternama di kotaku. Semenjak kelas dua belas sepulang dari sekolah aku dan beberapa teman ikut Bimbel untuk persiapan menghadapi ujian akhir dan masuk PTN.
"Ini mau ngerjain. Tanya dulu, Mas Indra pulang nggak? Jumat Sabtu kan libur. Biasanya kalo long weekend dia pulang. Biar aku semangat ngerjainnya nih," rajukku.
"Iya pulang ... pulang."
"Habis ini aku main ke rumahmu ya," pintaku sambil mengerjapkan mata genit.
"Jijik tahu! Kamu boleh main kalo kamu ngerjainnya bener semua. Tuh, kerjain dulu sebelum Mas Agus masuk lagi," bisiknya. Mas Agus adalah guru bimbel kami.
"Diih. Aku nyontek doong." Aku berusaha merebut kertas jawabannya yang tentu saja lebih gesit dia selamatkan.
"Usaha dulu! Kalau nggak bisa baru nyontek!"
"Pelit!" Aku pura-pura marah. Namun, tetap kukerjakan soal-soal yang tadi diberikan oleh Mas Agus.
Sebetulnya aku bukan termasuk murid bodoh. Aku hanya malas belajar. Itu yang selalu dikatakan Yuda. Makanya Yuda paling semangat kalau menyuruhku belajar. Dia tidak suka kalau nilaiku jelek. Dia ingin aku kuliah di PTN yang sama dengannya. Meskipun beda fakultas. Tentu saja otakku tidak akan mampu menandinginya untuk bisa bersaing masuk Fakultas Kedokteran. Aku cukup fakultas lapis kedua atau ketiga.
"Kalian itu lo. Ribut terus dari tadi," celetuk Arumi yang duduk di depanku. Dia menoleh dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan kami berdua.
"Rumi, habis ini kita ke tempat Yuda, yuk," ajakku berbisik pada Arumi.
"Enggak usah! Minggu depan kita ujian. Kamu itu jangan ganggu Arumi!" Tatap Yuda tajam padaku. Arumi yang tadi sudah tersenyum hendak meng-iyakan permintaaku urung menjawab. Dia tampak kecewa dan kembali menekuri lembar soal yang tengah dikerjakannya.
Petra yang duduk di sebelah Arumi menoleh ke belakang. Menatapku dan Yuda bergantian. Sorot matanya menanyakan ada apa kok Arumi tampak kecewa. Yuda hanya mengangkat bahu tidak peduli.
"Pelit nih anak. Nyebelin!" jawabku seraya mengarahkan daguku ke arah Yuda. Petra hanya geleng-geleng kepala.
Namun, meskipun nyebelin aku tetap menurutinya. Yuda memang begitu. Selalu menjadi musuhku nomor satu sekaligus teman baikku nomor satu juga.
*****
Aku dan Yuda berteman sejak kami masih pakai popok dan minum ASI. Umur kami hanya terpaut lima bulan, tua dia. Papanya dan bapakku juga berteman dari kecil. Rumah kami bersebelahan. Sebetulnya rumah kakek nenek kami. Papanya mewarisi rumah kakek neneknya. Sedangkan bapakku yang anak laki-laki sulung dan satu-satunya memang tidak boleh kemana-mana oleh eyangku. Setelah lulus kuliah Bapak melanjutkan perusahaan kecil kakek di bidang perikanan.
Ceritanya dulu Papanya dijodohkan dengan Bulik Tanti, adik bapakku. Namun, ternyata mereka tidak berjodoh dan tidak pernah ada ketertarikan satu dengan yang lainnya. Akhirnya mereka memiliki jodoh sendiri-sendiri. Papanya Yuda berjodoh dengan adik tingkatnya ketika kuliah di fakultas kedokteran di sebuah Universitas negeri ternama di Yogyakarta. Sedangkan bulik Tanti berjodoh dengan kakak temannya. Bapakku sendiri menikah dengan Umaku karena dijodohkan, hingga usia kepala tiga bapakku belum juga mempunyai teman wanita membuat eyangku gerak cepat mencarikannya jodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Yang Kuingkari
RomanceKetika kepercayaan sudah tergadaikan, apalagi yang kuharapkan darinya? Madina, seorang gadis ceria, hidupnya terasa mudah karena dia memiliki ayah yang sangat menyayanginya, sahabat yang melindunginya dan laki-laki yang mencintainya. Hingga suatu ke...