Bab 5

496 84 8
                                    

Kulirik jam dinding di depanku. Pukul 14.30. Semua alat-alat yang baru kusterilkan dengan autoclav sudah kumasukkan dalam lemari penyimpanan. Sekarang tinggal menyapu dan membersihkan meja di ruang persiapan laboratorium kultur jaringan tempatku bekerja. Setelah itu menyeterilkan lantai dengan larutan lisol.

Sore ini aku juga mendapat tugas membersihkan ruang inokulasi karena Mbak Saras yang bertanggung jawab di ruang tersebut meminta ijin pulang lebih awal karena tidak enak badan. Dia sedang hamil muda sehingga sering pusing dan lemas.

Putri rekan kerjaku yang lain juga sedang membersihkan dan menyeterilkan ruang inkubasi. Kami hanya bertiga di laboratorium ini. Ada lagi dua orang rekan kerja di bagian aklimatisasi. Hendra dan Rizky. Namun, mereka lebih sering berada di luar laboratorium. Atau di ruang kerja kami apabila sedang membuat laporan. Praktis hanya ada lima pegawai yang bertanggung jawab terhadap semua kegiatan perbanyakan benih tanaman yang dipercayakan di laboratorium ini.

Oleh karena itu begitu satu orang ijin maka rekan yang lain harus siap menggantikan tugasnya. Kalau tidak akan mempengaruhi hasil dari perbanyakan benih yang kami buat.

Sore ini aku tidak boleh pulang terlambat. Aku ingin pulang tepat waktu menggunakan bus karyawan. Sudah tiga hari berturut-turut aku selalu ditinggal bus tersebut karena pukul empat sore aku baru keluar dari gedung laboratorium.

Tentu saja tertinggal karena bus antar jemput tersebut terlalu disiplin. Pukul setengah empat persis langsung berangkat. Bahkan teman-teman yang pulang ikut bus selalu turun ke lobby lima menit sebelum jam pulang kantor. Begitu pukul 15.30 tepat mereka absens secara online dan langsung masuk bus yang sudah siap di depan lobby.

"Put, aku turun duluan ya," pamitku pada Putri yang matanya otomatis melirik ke jam tangannya.

"Lho, masih kurang lima menit," tanyanya heran.

"Aku naik bus. Sampai bawah pas jam pulang. Kalo enggak, ketinggalan bus terus. Naik gojek lama-lama boros."

"Dih, kayak miskin aja," cibir Putri tetapi takkuhiraukan.

Aku langsung turun ke bawah lewat tangga. Jam mau pulang begini lift biasanya penuh.

Aku dan Putri pegawai baru yang diangkat tahun lalu. Kami masih CPNS. Meskipun sudah latsar tetapi gaji kami masih delapan puluh persen. Menunggu semua CPNS angkatan kami mengikuti latsar semua baru kami diangkat menjadi ASN dengan gaji utuh. Selain itu karena masih CPNS kami belum mendapatkan tunjangan lain-lain. Harus pandai berhemat agar bisa hidup sampai akhir bulan.

Meskipun setiap bulan ada uang masuk yang lebih dari cukup dari hasil pabrik pengolahan ikan yang dikelola keluarga namun tetap harus kuhemat. Aku juga punya hutang ke umaku yang telah membelikanku rumah mungil yang indah nan asri di selatan Kota Semarang. Meskipun Uma bilang rumah tersebut adalah hadiah untukku tetapi aku tahu harga satu unit rumah di perumahan itu mencapai lebih dari 1 M. Aku juga heran darimana beliau mempunyai uang untuk membelikan rumah. Katanya menjual beberapa tanah warisan. Aku baru tahu kalau Kai sekaya itu mempunyai banyak tanah di kampung halaman.

Uma juga mencarikan ART untukku. Sudah aku tolak karena hanya sendiri untuk apa ART. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Namun, Uma bersikeras dan tetap menempatkan Bu Supri untuk menemaniku. Katanya beliau tidak akan tenang kalau aku tinggal sendirian. Padahal Adi, adik tiriku juga kuliah di Semarang, namun tidak diminta untuk menemani. Dia malah indekos dekat kampus.

Dengan gajiku sekarang sebetulnya berat menggaji Bu Supri. Namun, aku juga tidak mau merepotkan Uma dengan menerima semua bantuannya. Aku harus berhemat dan bisa menghidupi kebutuhanku sendiri. Meskipun akhirnya sedikit demi sedikit menggerogoti tabungan yang dikirim oleh Bulik Tanti. Aku hanya perlu bertahan beberapa bulan lagi hingga menjadi PNS seratus persen dan bisa menerima tunjangan lainnya.

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang