Bab 6

423 67 1
                                    

2013

Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan Arumi. Dan sudah setengah jam aku duduk di halte depan kampusku. Rencananya hari ini setelah dua minggu otak terkuras untuk berpikir menghadapi Ujian Tengah Semester aku berencana refreshing jalan-jalan ke Mall di daerah jalan Solo ditemani Yuda.

Namun, begitu aku keluar ruangan dan memeriksa ponselku ada pesan darinya kalau dia mendadak ada tugas dan tidak bisa menemaniku jalan. Okelah kalau begitu aku bisa jalan sendiri.

Tetapi Yuda tetaplah Yuda. Dengan semena-mena melimpahkan tugasnya ke Mas Indra untuk menemaniku jalan. Katanya Mas Indra siang ini jadwalnya kosong. Tentu saja aku ingin menolak. Enggak bisa membayangkan jalan sama dia, pasti sangat tidak nyaman. Aku telefon Yuda tetapi tidak aktif ponselnya. Kebiasaan. Setelah membuat keputusan sepihak langsung mematikan ponselnya. Bagus.

Aku ingin pergi saja, kabur, tetapi enggak enak kalau nanti Mas Indra benar-benar menjemputku dan menunggu. Aargh. Yuda sialan.

Ketika sedang galau tiba-tiba Arumi kirim pesan kalau dia dapat tugas dari Yuda untuk menemaniku jalan. Katanya Mas Indra tidak bisa karena sudah janjian dengan Yessy. Ih, dasar Yuda enggak jelas. Namun, akupun bersyukur. Lega. Bisa mati gaya kalau aku jalan-jalan dengan kakaknya itu.

Namun, sudah sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan, Arumi belum muncul juga. Aku memang harus mengumpat sama Yuda. Ngapain dia membuat acara untukku tanpa persetujuan dari tokoh utamanya. Ck. Dasar Yuda.

Aku kan bisa jalan-jalan sendiri. Atau mengajak teman sekelasku. Aku juga bukan mahasiswa yang anti sosial. Aku mudah bergaul. Temanku banyak. Yuda saja yang selalu mengkhawatirkanku. Khawatir iya tetapi tidak pernah ada waktu untukku. Kalau aku hendak membuat acara sendiri selalu tidak boleh. Memang siapa dia? Kadang aku gemas padanya. Aku jadi mahasiswa kupu-kupu karenanya. Kuliah pulang kuliah pulang.

Suara klakson membuyarkan lamunanku. Arumi dengan helm warna pink dan full sticker Hello Kitty sudah bertengger di atas motor scoopynya di pinggir jalan depan halte tempat aku menunggu. Untung suasana halte sepi. Kalau tidak pasti akan jadi pusat perhatian.

Aku mendekatinya. Dia mengangsurkan helm fullface warna hitam kusam kepadaku.

"Enggak ada helm yang lebih manusiawi, Mi?" sungutku. Namun tetap saja kuterima dan memakainya di kepalaku.

"Kalau bukan Yuda yang menyuruhku menemani ndoro putri Madina nggak bakalan aku mengorbankan acara traktiran ultah Syibil," gerutunya.

Aku tertawa ngakak.

"Enggak ikhlas nih? Aku bilang sama Yuda lo," candaku.

"Ampuun, ndoro. Hamba siap yang penting kamu bantu aku doong," bujuknya dengan mata berkedip-kedip.

"Jijik tauk!" Aku pun melangkah naik ke sadel motornya.

Sebagai sahabat perempuan yang paling dekat dengannya aku tahu Arumi menyukai Yuda. Hanya saja Yuda memang tidak pernah jelas untuk urusan hati. Dia baik dan perhatian pada Arumi. Bukan pada Arumi saja, tetapi pada semua teman perempuannya. Namun, akulah yang paling menjadi prioritasnya. Meskipun semua teman juga tahu hubunganku dengan Yuda tidak pernah lebih dari sahabat.

"Mau kemana kita?" Arumi dengan nada Dora-nya.

"Ke Bukit Bluberry," timpalku cepat dengan nada yang sama.

"Madina! Mundur kenapa? Tanganmu itu lepas nggak dari pinggangku. Jijik tauk!" Arumi teriak-teriak diantara desingan suara motor. Badannya menggeliat-geliat karena aku memeluk pinggangnya erat. Aku tidak peduli dengan teriakannya. Semakin dia teriak semakin aku memeluknya erat untuk menggodanya. Akhirnya dia pasrah saja.

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang