Bab 11

315 62 11
                                    


Dia menatapku sedih. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat dia menderita karena aku tidak peduli pada anaknya.

"Selama ini kemanapun aku pergi Noni selalu kuajak. Tetapi sekarang dia sudah kelas satu SD. Rasanya tidak baik sering membuatnya membolos. Dan dia pun sudah merasa menjadi kakak SD yang tidak perlu diajak ke sana ke mari mengikutiku. Tetapi terus terang bagiku dia masih gadis kecil yang belum bisa ...," suaranya terputus oleh panggilan telefon. Mas Indra meraih ponsel yang ada di atas meja.

"Iya sayang."

............

"Jangan. Sebentar lagi Ayah pulang."

............

"Bunda masih sakit, sayang." Mas Indra melirikku. "Noni ingin Bunda lekas sembuh kan?

..............

Yaudah, Noni sama Ayah karena Bunda nggak boleh capek."

............

"Ayah kan sudah besar."

............

"Bunda enggak bisa, sayang. Noni ikut Ayah ke Medan ya?"

...........

"Nanti Ayah yang bilang ke Miss Novi."

...........

"Oke. Nanti biar Omi dan Opi ke Semarang nemeni Noni ya."

...........

"Iya ... ini Ayah lagi bilang. Janji enggak boleh maksa ya. Kalo Bunda enggak bisa berarti Noni ditemani Omi sama Opi."

...........

"Sayang Noni juga. Muuaah."

Ponsel diletakkan di meja lagi. Aku tahu mereka sedang membicarakanku. Tetapi aku sudah bertekad tidak mau mencampuri urusan mereka lagi.

"May, sekali lagi aku minta, maukah ...."

"Aku tidak mau, Mas!" potongku cepat. "Aku tidak mau berurusan dengan anak itu!" Rasanya kejam sekali. Aku hanya ingin menyakitinya tetapi ternyata aku juga tersakiti.

Mas Indra menatapku dengan penuh amarah. Tangannya mengepal. Tiba-tiba dia berdiri dan meraih tanganku kasar. Menyeretku menuju kamar.

"Lepaskan, Mas! Kamu menyakitiku!" desisku marah. Aku berusaha tidak berteriak, tidak ingin tetangga mendengar pertengkaran kami.

Mas Indra tetap menyeretku hingga kami berdua masuk ke kamarku. Dibantingnya pintu hingga menimbulkan suara keras. Nafasnya memburu. Dihentakkan tubuhku dengan kasar hingga punggungku terasa dingin menyentuh dinding. Kedua tangannya menekan bahuku ke dinding. Ditatapnya mataku dengan penuh amarah. Sebetulnya aku takut, tetapi aku keras kepala. Aku mendongakkan kepala tanda menantang.

Untunglah pengendalian diri Mas Indra cukup baik. Nafasnya perlahan-lahan mulai tenang dan teratur. Tetapi tangannya masih mencengkeram bahuku dengan keras. Aku meringis menahan sakit.

"Dengar May, yang kamu sebut 'anak itu' adalah anakmu. A-nak-mu," jelasnya pelan tetapi tegas dengan penekanan setiap kata. "Anak kandungmu. Buah cinta kita. Seberapa besar kesalahanku padamu, dia tetap darah dagingmu. Yang kamu kandung selama tujuh bulan. Yang kamu tangisi setiap hari karena dia premature dan harus ditinggal di rumah sakit selama beberapa minggu, yang kamu beri ASI meskipun hanya beberapa bulan."

Ingatanku kembali ke masa itu. Aku yang histeris menyaksikan suamiku dengan wanita lain sedang memadu kasih di rumah kontrakannya. Kecelakaan yang menyebabkan aku kehilangan Bapak, harus melahirkan anakku ketika usia kandunganku baru tujuh bulan hingga menderita baby blues berkepanjangan dan membahayakan bayiku sendiri.

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang