Bab 7

376 57 8
                                    

Mataku membola, mulutku membentuk huruf O. Mungkin karena lucu cowok nyebelin disampingku itu tertawa dan meraupkan tangannya di wajahku. Sialan. Aku tepis tangannya dan siap memberondong omelan namun kutahan karena pelayan menghampiri kami. Terpaksa aku diam. Namun, lihat aja nanti pembalasanku.

Kalau boleh jujur sebetulnya aku bangga dan bahagia ketika Mas Indra mengakui aku sebagai kekasihnya. Tetapi karena tahu itu bohong, aku jadi tersinggung. Enak aja dia mempermainkan perasaanku.

Sandi memesan americano dan Mas Indra pesan kopi klasik. Kopi klasik sepertinya kopi andalan di cafe ini. Mungkin semacam americano tapi dengan sentuhan Jawa.

"Pesan apa, May?" tanya Mas Krisna padaku.

"Teh aja," jawabku singkat.

Mas Indra menoleh ke arahku.

"Ini warung kopi, nak, nggak ada teh," sahutnya yang kudengar seperti nada kesal.

"Coklat ada, Kak," si Mbak waitress memberi saran. Mungkin dia mengira aku tidak suka kopi.

Aku suka kopi tapi karena selama ujian hampir dua minggu ini setiap malam aku minum kopi dua cangkir demi mata tetap melek untuk belajar, maka malam nanti aku ingin tidur nyenyak. Jadi lupakan kopi untuk sementara.

"Oke mbak aku choco milk, ya."

"Pesan snacknya enggak?" tawar Mas Indra padaku.

"Udah kenyang, Mas."

Si Mbak meninggalkan meja untuk menyiapkan pesanan kami.

"Kirain kamu pacaran sama Yessy, Ndra," tanya Sandi pelan. Mungkin enggak enak kedengaran aku. Dikiranya aku beneran pacarnya Mas Indra.

Aku melirik ke arah Mas Indra. Dia hanya tersenyum. Kulihat senyumnya tidak sampai ke mata.

"Sempat. Sekarang sudah putus," jawabnya lirih pula, tetapi aku masih sangat jelas mendengarnya.

Ini baru berita. Padahal tadi siang dia baru pergi dengan Yessy. Apa yang terjadi? Apakah putusnya baru hari ini?

"Oww! Sorry, Ndra." Sandi terlihat merasa bersalah. Mas Indra hanya mengedikkan bahunya.

"Sante aja. Mana Satria, nih. Enggak nyampe-nyampe dari tadi. Satu jam yang lalu katanya meluncur ke sini." Mas Indra terlihat berusaha mengganti topik pembicaraan.

Oh, ternyata ini ada acara kumpul bujang. Ih, kenapa juga aku ikut dibawa ke sini? Apa ada kaitannya dengan pengakuan Mas Indra tadi yang mengatakan aku pacarnya? Apa aku dijadikan tameng?

"Tuh Satria," celetuk Sandi tiba-tiba.

Kami berdua reflek mengikuti arah pandang Sandi. Seorang laki-laki seumuran Sandi dan Mas Indra tampak menuruni tangga dari lantai dua. Aku lihat tiga orang ini hampir mirip. Tingginya kayaknya hampir sama. Tampan semua meski menurutku paling tampan Sandi. Kalo Satria ini penampilannya lebih santai. Hanya mengenakan kaos oblong. Rambutnya sebahu, ikal, tapi terlihat terawat.

"Sudah dari tadi kalian?" sapanya sambil menjabat erat tangan cowok-cowok di mejaku.

"Enggak juga. Paling baru lima belas menitan. Kirain kamu malah belum dateng, Sat."

"Udah dari tadi. Aku diatas. Ngecek laporan anak-anak." Cowok itu menarik kursi tepat di depanku. Menatapku dan tersenyum yang kubalas dengan senyum dan anggukan kepala. Mungkin Satria ini manager cafe ini.

Kulihat matanya menatap Mas Indra penuh tanya. Menuntut jawaban mengapa ada sosok aku di sini.

"Madina, ini Satria pemilik cafe ini." Mas Indra memperkenalkan cowok yang duduk di depanku. Oh, ternyata pemilik cafe ini. "Ada 3 cafe seperti ini yang dia kelola. Di Semarang, Solo dan Jogja."

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang