"Panjang ceritanya, Bu," jawabku lirih. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Bu Supri seperti memahami keenggananku untuk bercerita dan membiarkanku memejamkan mata kembali. Dia masih terus memijat kakiku hingga aku tertidur.
Alarm ponselku berbunyi, tanda sudah masuk waktu subuh. Kumatikan segera karena terasa berisik di telinga. Aku bangun dan mencoba untuk merasakan kondisi tubuhku. Syukurlah aku tidak demam maupun pusing. Dulu aku selalu demam apabila serangan memori masa-masa kelamku hadir dalam mimpi maupun pikiranku.
Setelah melaksanakan salat subuh aku keluar kamar. Kulihat Bu Supri sedang memasak di dapur.
"Bu Supri masak apa?" Aku duduk di meja makan. Meja makan rumahku jadi satu dengan dapur.
"Sudah bangun, Mbak? Ini saya masakin bubur, kirain Mbak Dina demam. Biar gampang makannya saya buatin bubur ayam."
"Saya sehat, Bu. Tapi enggak apa-apa juga sarapan bubur. Bubur bikinan Bu Supri kan mantap," pujiku seraya mengangkat kedua jempolku.
Bu Supri tersenyum bangga. Tidak hanya bubur, semua masakan Bu Supri cocok di lidahku.
"Saya buatkan teh, Mbak?"
"Boleh. Dikasih susu ya Bu."
"Ya, Mbak."
Aku mengambil ponsel dari saku piyama. Sejak semalam tidak kubuka sama sekali. Puluhan pesan masuk aku buka satu-satu. Ada tiga pesan dari Mas Indra. Aku abaikan, nanti saja bacanya. Tidak penting. Yang menarik perhatian adalah pesan dari Pak Nugraha. Aku klik untuk membukanya. Pesan terakhir dikirim pukul 21.30 semalam, pastinya aku sudah tertidur kelelahan dengan segala kenangan buruk.
Pak Boss
Mbak
Udah tidur?
Oke. Besok aja
Lha. Apaan coba? Random banget si Pak Bos. Aku pun mengetik untuk membalasnya. Enggak enak kalo sudah dua centang biru tetapi tidak aku tanggapi
Maaf Pak, baru baca. Ada yang bisa saya bantu?
Cukup sopan dan standar. Aku tidak mau terlalu akrab dengan Pak Bos. Takut terjadi hal-hal yang berbau romansa. Pesan yang kukirim sudah centang dua tetapi masih ab-abu. Aku tutup chat room dengan Pak Bos dan kembali ke home. Aku buka pesan dari Uma, Putri, WA grup lab kuljar dan WA grup lainnya. Hingga semuanya sudah terbaca tinggal punya si pengkhianat bangsa. Aku buka dengan hati dagdigdug. Terus terang dia mudah sekali memanipulasi hatiku. Makanya aku sering merasa tidak nyaman kalau berkomunikasi dengannya.Kubuka pesan dari Mas Indra. Sebenci-benciku padanya tidak tega mengganti nama 'pengkhianat bangsa' di kontaknya. Sebetulnya ingin.
Mas Indra
May ❤
Maaf
Love u
Kupandangi chat tersebut. Kubaca ulang. Betul kataku. Mas Indra memang pandai memanipulasiku. Ada rasa hangat dan rindu membaca chat singkat dan sederhananya. Ah, mungkin memang hatiku yang murahan kalo berhubungan dengannya.
Aku klik foto profilnya. Foto Noni sedang digendong ayahnya di atas pundak. Tangan Mas Indra menggenggam tangan mungil gadis kecilnya dengan posisi lengannya terbuka lebar.
Aku perbesar foto tersebut. Noni terlihat tertawa lebar. Pun dengan ayahnya.
Noni masih kecil. Mungkin sekitar tiga tahun. Aku usap foto tersebut. Ah, tidak ada aku di dunia mereka berdua. Mungkin itu lebih baik. Biarlah mereka bahagia dengan caranya. Sedangkan aku akan mencari bahagiaku sendiri. Kalau memang masih ada kebahagiaan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Yang Kuingkari
RomanceKetika kepercayaan sudah tergadaikan, apalagi yang kuharapkan darinya? Madina, seorang gadis ceria, hidupnya terasa mudah karena dia memiliki ayah yang sangat menyayanginya, sahabat yang melindunginya dan laki-laki yang mencintainya. Hingga suatu ke...