Bab 9

295 53 9
                                    

Berapa purnama ya cerita ini menghilang. Masih adakah yang membaca cerita ini? Maaf kalo ada yang menunggu update an cerita ini yang super duper lama. Hihihi... kepedean ya... selamat membaca guys.... 😍😍

Bugh!!!

Suara pukulan mendesing dari arah telinga kananku diikuti suara sesuatu yang jatuh. Aku memejamkan mata dan menutup wajah dengan kedua tanganku. Tubuhku gemetar.

"Kurang ajar kamu, Mas! Beraninya kamu menodai Madina. Orang yang dari kecil kita anggap saudara!" Kudengar teriakan Yuda.

Seseorang merangkulku dan mengajakku menyingkir.

"Din, keluar dulu, yuk." Suara Arumi pelan di telingaku.

Aku pun menurut dan menyingkir menuju pintu. Sebelum keluar aku menengok ke belakang ke arah Mas Indra. Dia terjatuh setengah telentang. Tubuhnya tertopang lengan kirinya. Tangan kanannya kulihat menutupi wajahnya untuk menangkis serangan Yuda sebelumnya. Saat ini Yuda sedang ditenangkan Bapakku dan Papanya.

Mamanya Yuda berdiri khawatir di luar kamar. Kedua tangan menutupi mulutnya. Melihatku dia langsung memelukku erat dan mengucapkan maaf. Maaf untuk apa? Ini murni kesalahanku dan Mas Indra. Mama Yuda tidak bersalah apa-apa.

Setelah itu aku digiring untuk duduk di ruang keluarga. Di sana kulihat umaku sedang diam duduk dengan tegang di samping Eyang. Aku langsung berlari dan memeluk Uma.

"Uma kok di sini? Enggak bilang-bilang mau ke Jogja? Madina kangen," kataku manja. Lupa kalau sedang menghadapi masalah yang maha besar.

Uma memelukku erat. Mengusap rambutku sayang. Entah berapa lama aku tenggelam dalam kehangatan pelukannya hingga tersadar bahwa semua orang sedang duduk menatapku.

Aku melepaskan pelukan Uma dan menatap ke sekelilingku. Tampak, Bapak, Om Rahman dan Tante Anita, papa dan mamanya Yuda, serta Mas Indra sudah duduk melingkar di ruang keluarga. Aku sendiri duduk di sofa panjang di antara Eyang dan Uma. Arumi duduk di meja makan sambil menyeduh secangkir teh. Mungkin untuk Eyang. Meja makan di rumah ini memang menyatu dengan ruang keluarga. Yuda sendiri menemani Arumi duduk di sana tetapi fokusnya pada orang-orang yang duduk melingkar ini.

"Uma, Madina tidak melakukan apa-apa. Sumpah, Uma. Plisss ...," kataku lirih, memohon pada Uma agar membantuku menghadapi wajah-wajah penuh tuduhan.

"Madina, jangan pernah bersumpah kalau kamu tidak bisa mempertanggungjawabkan sumpahmu itu," sahut Bapak dengan suara tegas.

"Tapi Madina enggak ngapa-ngapain, Pak," protesku keras kepala. Kurasakan Uma mengelus punggungku. Maksudnya agar aku menurunkan nada suaraku.

"Kalau kamu tidak ngapa-ngapain lalu kenapa kamu berada di kamar Indra. Pintunya tertutup lagi. Dan ... dan ... Madina, kamu membuat Bapak malu."

"Yus, anakku yang salah. Aku yang seharusnya malu. Bukan kamu," sahut Om Rahman pelan namun tegas.

Kulihat Bapak menarik nafas panjang. Bahunya luruh. Tangan besarnya mengusap wajahnya kasar. Kemudian tangan itu bertopang dagu, menatapku kecewa. Melihat Bapak seperti itu hatiku sakit. Aku ... Madina. Putri kesayangannya. Membuatnya kecewa tidak ada dalam kamus hidupku.

Aku beranjak dari tempat duduk dan menubruknya. Berlutut di depannya. Kepalaku kuletakkan di pangkuan. Aku menangis tersedu-sedu.

"Bapak jangan sedih. Dina nggak ngapa-ngapain, Pak. Dina ... Dina ... selalu bisa jaga diri. Hiks! Dina tidak seperti yang Bapak pikirkan. Hiks!"

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang