Bab 10

305 53 12
                                    

Update cepet nih. Khusus buat pembaca setia ceritaku. Love 😍😍

Flashback off

Hari ini tugasku adalah menanam eksplan anggrek sebagai bahan perbanyakan benih tanaman anggrek. Eksplan  merupakan faktor penentu dalam keberhasilan pembentukan kalus atau bentuk awal calon tunas.  Kali ini untuk eksplan aku ambil dari biji buah anggrek dendrobium. Pemilihan eksplan dari biji bertujuan untuk mendapatkan keseragaman bibit dalam jumlah besar dan waktu yang relatif singkat. Karena memang ada pesanan untuk pengadaan benih anggrek sebanyak dua puluh ribu batang tahun depan.

Dari pagi aku tidak keluar dari ruang tanam. Berkutat dengan laminar air flow cabinet (LAFC) yang digunakan untuk aktivitas penanaman dalam media secara aseptik.

Putri, teman yang dari tadi bersamaku untuk menanam eksplan pada media tanam sudah istirahat setengah jam yang lalu. Kulirik jam dinding berbentuk lingkaran hadiah dari salah satu pemasok obat-obatan kimia yang menjadi rekanan laboratorium tempat aku bekerja. Sudah pukul 12.45. Lima belas menit lagi waktu istirahat berakhir. Kurang sedikit lagi. Aku konsentrasi lagi pada eksplan dan media tanam di hadapanku. Hingga pukul 13.00 tepat selesai juga tugasku. Aku perlu membereskan semuanya dan harus steril sesuai dengan SOP.

Setelah keluar dari ruang tanam aku menyadari kalau ruangan sepi. Yang istirahat belum kembali. Aku pun bergegas menuju masjid yang berada di sebelah barat gedung laboratorium kultur jaringan.

Masjid ini cukup besar. Mampu menampung semua karyawan yang bekerja di komplek perkantoran ini. Namun karena waktu zuhur sudah lewat lama sehingga masjid terasa sepi. Hanya beberapa orang yang terlambat salat sepertiku.

"Mbak Dina, tumben jam segini baru salat?"

Aku menengok ke sebelah kananku. Kira-kira empat meter dari tempatku duduk kulihat Pak Nugraha sedang memakai sepatu.

"Iya, Pak. Tadi nanggung banget kalau harus istirahat dulu."

"Ngerjain dendro?"

"Iya, Pak. Bapak kenapa juga baru salat zuhur?"

Pak Nugraha sudah selesai mengenakan sepatunya, berdiri dan mendekatiku. Aku menghentikan kegiatan memakai kaos kaki. Menatap dan ikut tersenyum padanya. Pak Nugraha masih terlihat muda di usianya yang mendekati usia akhir tiga puluhan. Memakai kain batik lurik seragam hari ini membuatnya terlihat begitu mempesona. Aura matangnya menguar dari semua gerak geriknya. Pak Nugraha seorang duda dengan anak satu berusia sekitar tiga belas tahun. Istrinya meninggal terkena covid tahun lalu. Entah kenapa tiba-tiba aku tersipu dipandang beliau.

"Tadi rapat dengan Irjen sampai lupa waktu." Dia terkekeh sendiri. "Jangan lupa nanti rapat jam dua ya, Mbak," katanya sambil terus tersenyum ramah dan menatapku lekat.

Aku salah tingkah. Hingga beberapa detik kemudian baru menyadari ucapannya.

"Jam dua? Kok mendadak banget, Pak? tanyaku seraya menatap Fossil warna rose gold di pergelangan kiriku hadiah ulang tahun dari Uma tahun lalu.

"Masih ada waktu lima belas menit kalau kamu mau makan siang dulu. Saya sudah share di grup sejak pukul sepuluh tadi. Selama itu kamu tidak menengok WA group?"

Aku menggeleng. Bahkan ponselku masih aku simpan di tas. Setiap masuk ke ruang steril yang ada di Lab aku selalu menyimpan ponsel dan baru membukanya setelah semua proses di ruang steril selesai. Tetapi karena tadi aku sudah kesiangan salat zuhur hingga belum sempat membuka ponsel.

"Oke, dari Lab nanti kamu sama Saras yang ikut rapat."

"Baik Pak. Kira-kira membahas apa, Pak? Biar saya siapkan datanya."

Matahari Yang KuingkariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang