Cermin toilet memantulkan setengah dari tubuhku. Jilbab sepanjang perut masih on point alias tidak kusut. Barusan aku bersikap kurang ajar pada Bu Marsya yang notabenenya adalah guru matematika yang berjasa mengajarkan rumus-rumus yang membuat kepalaku dan pelajar di seluruh dunia berasap saking panasnya.
Dosaku sudah sebesar apa, ya? Apa aku harus meminta maaf pada Bu Marsya?
Memikirkan permintaan maaf, aku teringat wajah Mama bersimbah air mata--tentu saja itu hanya bayangan saja. Betapa hancurnya hati Mama bila tahu Papa berselingkuh dengan guru putrinya. Alih-alih meminta bercerai duluan, Mama pasti akan pasrah pada keputusan Papa.
Walaupun tidak berjilbab, Mama adalah istri yang baik dan taat pada suami.
Namun, bagaimana denganku? Air mata perlahan menetes saat mengingat momen di mana Papa berpegangan tangan dan begitu mesra bersama Bu Marsya di kedai kopi Bang Jack. Andai skincare-ku tidak habis, sampai sekarang aku masih bodoh dan tidak tahu apa-apa. Papa jahat sekali. Tega-teganya Papa menghancurkan hatiku dan hati Mama dengan perselingkuhannya.
Tanganku mengepal dan nyaris meninju cermin kalau tidak mendengar bel masuk berbunyi. Aku hanya bisa memukul wastafel sekuat tenaga, hingga pergelangan tanganku membiru karena memar. Biarlah, sudah lama aku memendam kesedihan ini sendirian.
Dengan hati hancur, aku merapikan diri dan ke luar. Betapa terkejutnya aku saat melihat Abdul berdiri di luar sembari bersandar di dinding toilet khusus wanita.
"Abdul?" gumamku.
Sepertinya, dia mendengar. Matanya tampak layu saat menoleh. Dia melangkah ke hadapanku dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Tinggiku hanya sebatas telinga dia. Namun, sebisa mungkin aku menghindar dari tatapan matanya. Orang bilang, cowok berkepribadian dingin lebih peka dari biasanya. Kalau Abdul tahu aku sedang mempunyai banyak masalah, takutnya dia akan bertanya.
Walau aku tidak yakin soal itu, setidaknya aku harus berjaga-jaga. Siapa tahu diam-diam Abdul punya jiwa kepo dan penggosip handal dan mempunyai akun samaran untuk membicarakan aib-aib anak didik Dwisaka. Bukankah itu cukup mengerikan?
Saat tak sengaja menatapnya, bibir tipis nan pucat Abdul tampak bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku jadi deg-degan sendiri. Bagaimana kalau Abdul hendak mengumpat karena bakpao tadi tidak enak? Atau menyekikku karena dia mengalami diare setelah memakannya? Bukankah cowok dingin mempunyai banyak sisi tak terduga?
"Bakpaonya enak," ucap Abdul tiba-tiba.
"Hah?" Aku terperangah. Dia menemui aku secara khusus di depan toilet wanita hanya untuk mengatakan bakpao itu enak? Keajaiban macam apa ini.
"Gue mau bilang makasih, bakpaonya enak." Abdul membuang muka.
"Oh, oke." Aku berusaha tersenyum. "Lo bisa nunggu gue di kelas, Dul. Gak harus nyusul ke sini segala."
"Kelamaan."
"Ya udah, kalau gitu gue mau balik ke kelas dulu. Besok-besok, kalau Abang Bakpaonya lewat, gue bawain lagi."
"Oke, semoga dia lewat lagi."
Aku segera beranjak dari sana dan berhenti setelah berjalan beberapa langkah. "Lo gak masuk kelas?"
"Duluan aja. Gue mau ngerokok sebentar di belakang," jawab Abdul canggung.
"Merokok? Lo merokok? Itu gak baik buat kesehatan. Nanti lo bisa mati karena infeksi saluran pernapasan!"
Dia tidak menjawab. Percuma memberitahu Abdul tentang bahaya merokok. Dia tetap akan berlaku seenaknya seolah nyawanya ada sembilan seperti kucing.
Aku langsung pergi tanpa melihat ke belakang lagi. Koridor kelas begitu sepi. Jam belajar sudah dimulai. Hanya aku yang masih berkeliaran di luar. Semoga guru yang masuk tidak mempermasalahkan keterlambatanku. Toh, baru kali ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/302275194-288-k636331.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]
Teen FictionAku masih selembut sutra sebelum mengetahui Papaku cheating dengan guru matematika yang kemudian akan kupanggil Maung peliharaan Papa. Hingga suatu hari, aku mendengar sesuatu. Terkait kehamilan Bu Marsya, si guru matematika. "Jadi, Bu Marsya benar...