5. Monday

147 15 2
                                    

Selamat pagi, selamat menikmati hari Senin yang melelahkan. Menurut konsultan, Kathryn Ely, kondisi Monday Blues biasanya disebabkan buruknya kebiasaan makan, tidur, dan berolahraga pada Jumat sore.

Padahal, aku selalu menjaga makan dan pola tidur. Walau kurang suka olahraga, aku sering ikut Mama jalan-jalan pagi sehabis salat Subuh. Mungkin, karena sekolah itu melelahkan. Makanya aku kurang suka.

Usai bersih-bersih, aku pergi ke ruang setrika. Mbak Ute selalu meletakkan pakaian yang sudah disetrika di atas meja panjang. Pakaian kami tidak dicampur. Baju sehari-hari, seragam, baju kantor, dan gaun dipisahkan agar mudah mencarinya.

Aku menarik seragam putih abu dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Kasihan Mbak Ute sudah lelah-lelah menyetrika, pakaiannya berantakan lagi.

Ketika seragam sudah ada di tangan, aku kembali ke kamar dan mengenakannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Aku harus cepat, kalau tidak bisa terjebak macet.

Artis Haruka boleh saja mengaku seru saat macet karena bisa tidur. Khusus penghuni lama, waktu paling menyebalkan adalah saat sudah keluar rumah dengan perasaan yang diusahakan bahagia, malah hancur karena tertahan di lampu merah.

Aku memasukkan buku-buku ke dalam tas dan terhenti di buku matematika. Seharusnya, aku mulai menyukai pelajaran ini. Akan tetapi, semuanya berakhir.

Pelajaran ini akan tetap menjadi pelajaran yang dihujat sejagat--kecuali Ameena dan sekutunya yang mencintai matematika. Panggilan Mama membuatku semakin mempercepat kegiatan, lalu berlari ke meja makan.

Papa dan Mama tampak saling melempar canda--sekilas tampak bahagia bila mataku tidak menangkap aura aneh di sekitar mereka berdua. Aku berusaha mengabaikan apapun yang mulai tampak.

Fokus utama hanya satu, belajar dulu dengan giat di empat bulan terakhir sebelum ujian nasional tiba. Setelah itu, aku akan lebih fokus lagi mencari tahu soal hubungan Papa dan maung, alias Bu Marsya.

"Morning, Shalihahnya Mama!" sapa Mama sambil mencium keningku.

Aku memeluk Mama dengan erat. "Morning, My Angel!"

"Hi, My Little Girl!" Papa merentangkan tangannya.

"Have a good day, My Guardian Angel!" ucapku diiringi tingkah berlari dan masuk ke dalam pelukan Papa.

"Mau sarapan apa? Nasi atau bubur?" tawar Mama di sela-sela menuangkan susu cokelat dingin ke dalam gelas panjang.

"Bubur, Ma."

"Hari ini, ada ulangan gak?" tanya Papa penuh perhatian.

"Gak ada kayaknya, Pa. Kalaupun ada pasti dadakan, jadi aku udah belajar dari semalam."

Bohong bila aku mengatakan belajar. Mana sempat membuka di kalau pikiran sedang sibuk berandai-andai memikirkan hal yang kemungkinan besar akan terjadi. Setelah itu, aku sibuk overthinking dan memaksakan diri untuk tidur.

Syukur ada Bang Jack yang mengajakku bicara, walau nyatanya malah aku tinggal tidur. Mungkin tanpa pria itu, sampai detik ini tubuhku belum merasakan yang namanya istirahat.

"Dek, terus gimana kelanjutan hubungan kamu sama Jack?" Mama duduk sambil menatap antusias. "Mama udah kebelet pengen punya mantu terus nimang cucu, seru tahu jadi nenek di usia muda."

Pipiku memanas. Belum apa-apa sudah membicarakan soal pernikahan. "Mama, nih. Aku masih SMA. Belum juga ada bau-bau UN. Masa udah ngomongin mantu aja?"

"Kamu itu satu-satunya tumpuan harapan Mama. Gak usah kuliah, deh, apalagi kerja. Langsung nikah aja sama Jack. Mau, kan? Kalau mau, Mama telepon Jack, nih!" Mama mengambil ponsel.

Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang