21. Dating

264 22 6
                                    

"Aloha! Assalamualaikum, everybody! Are you guys still crazy like me? Yo, yo, just sruput your coffee, jangan liat sana sini, nanti ketemu cewek lagi selingkuh, kau bisa patah hati!" nyanyiku ala rapper sambil mendekati meja bar.

Bang Udin meletakkan telunjuk berbentuk garis miring di jidat. Yang lain ngakak, mesem-mesem, dan adem ayem. Mereka ramai-ramai menyapaku. Incess, Bontot, dan panggilan baru, Bocah.

Aku tertawa saja sambil mencomot sebuah kue lapis di piring. Bang Udin melotot. Itu kue punya orang, katanya. Dengan cuek aku mengangkat bahu. Tinggal diisi lagi apa susahnya. Toh, nanti dimasukkan ke dalam bill, aku juga bayar.

"Bucin lagi salat Dhuha. Lo mau gue bikinin apa? Latte lagi? Or black coffee?" tawar Bang Udin sambil memeluk nampan.

"Black coffee? It's good idea, but gue masih mau hidup. Lambung gue rewel kena kopi kafein tinggi, tapi cokelat sama pedes bisa."

"Duduk di sini, di dalem, atau di sono?" Telunjuk Bang Udin mengarah ke spot favoritku, meja paling ujung dekat bar.

"Sini aja, deh. Gue males bangun."

Aku menopang dagu sambil mengamati kerja Bang Udin. Celemek cokelat bertuliskan nama kedai ini, membuat ketampanan para pegawai bertambah seratus kali lipat. Oh, satu lagi. Mereka semakin tampan karena latte untukku selalu istimewa.

Semua unsur pendukung kopi ditambah lebih banyak dari biasanya. Ingat, mau air putih sekalipun, kalau itu gratis, maka akan terasa manis. Apalagi latte tercinta. Rasanya, aku ingin berlama-lama menikmati setiap tetes latte. Siapa tahu bisa disimpan sampai besok lusa.

Bosan menunggu-padahal baru satu menit, aku melihat-lihat ke sekeliling. Ternyata pengunjung hari ini membludak. Mungkin, karena hari libur.

Semua orang gabut akan mencari tempat tongkrongan. Termasuk aku. Outfit mereka lucu-lucu. Tidak sepertiku. Always gamis forever. Gara-gara pakaian begini, aku suka dipanggil ibu atau kakak. Ya, masih mending dipanggil kakak. Ini ibu, loh. Setua itukah wajahku?

Setelah kucari tahu jawabannya, ternyata karena pemakai gamis semakin menipis. Kompeni terakhir dikuasai oleh ibu-ibu saja.

Anak-anak muda lebih sering memakai kulot atau jeans, paling banter rok span di atas mata kaki. Pantas saja aku dipanggil ibu. Tidak masalah, sih. Selagi tidak melanggar syariat, it's okay mau dikira ibu-ibu atau nenek-nenek. Sing penting ayu.

"Oke, Guys. Semangat semuanya!"
Bang Jack datang menebar pesona tersembunyi. Dia tampak tidak terurus karena rambutnya semakin gondrong, tapi tetap mengundang pekik kecil dari para gadis-gadis di belakang punggungku.

Maklum, pesona pria yang baru berwudhu itu masyaallah tabarakallah. Bangganya lagi, Bang Jack is my future husband, aamiin. Sayang sekali, mereka tidak tahu, jidat pria itu sudah diberi cap sebagai menantu Nyonya Devi Maharani.

"Bengong bae!" kata Bang Jack sambil mengetok kepalaku dengan cup kosong.

"Sakit!" Aku mengadu pada Bang Udin.

"Bales, lah. Ngapain diem aja?" kata Bang Udin memberi semangat. "Di belakang ada palu, balok, panci, wajan, tongkat besi, tinggal pilih."

"Belum siap jadi janda, Bang."

"Heh, mulut!" Bang Jack melotot.

Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang