17. War is Begin

235 20 2
                                    

Semalam, Mama heboh soal tanganku. Perban rapi balutan Bang Jack dibuka kembali untuk melihat separah apa lukanya. Melihat ada beberapa tusukan cukup dalam, Mama mengeluarkan omelan mautnya. Kemudian, dia langsung menelepon pihak toko. Mereka ikut dimarahi.

Berhubung Mama pelanggan lama serta sering memborong bunga, akhirnya manajer toko berjanji akan datang ke rumah untuk meminta maaf secara langsung.

Pagi ini, Mama kembali ceramah. Aku tidak dibolehkan memegang pulpen, apalagi menyapu. Tahu saja hari ini hari Kamis--jadwal piketku. Semua orang tua memang begitu, ya? Selalu meributkan hal remeh. Luka sekecil upil saja dilarang menulis. Nanti kalau nilai catatanku tidak cukup bagaimana?

"Ingat, Dek. Catatan bisa diulang pas sembuh, tapi tangan kamu gak bakal sembuh-sembuh kalau dipaksa kerja sebelum waktunya," ingat Mama sebelum aku menutup kaca helm.

"Ma!" Aku menunjukkan wajah jengah. "Luka begini doang. Bang Jack aja yang lebay ngebalut satu tangan."

"Oh, uang bulanan kamu Mama potong lima puluh persen," kata Mama santai, tapi penuh duri.

"Lima puluh persen dari Mama berkurang, sama Papa masih ada seratus. Aku gak khawatir soal jajan, Ma. Temenku kaya-raya semua," kataku sambil tertawa.

"Ish," kesal Mama.

Tak ingin semakin lama mendengar ceramah, aku mencium tangan Mama dan menutup kaca helm. Jalanan masih gelap, segelap hati Papa saat tahu anaknya memergoki selingkuh, tapi tak ingin berhenti juga.

Dia masih tidur. Sengaja tidak Mama bangunkan karena aku berkata sedang tidak mood bertemu Papa. Ah, andai bisa sharing kejadian kemarin, pasti wajahku tidak akan bertekuk seribu.

Kendaraan belum terlalu padat, hingga tak sampai setengah jam, aku tiba di sekolah. Parkiran motor sudah terisi lima belas persen. Artinya, anak-anak di kelasku sudah tiba. Kenapa aku tahu? Tentu saja kenal dari motornya. Selain itu, aku juga menghafal nomor plat mereka. Kurang kerjaan sekali, bukan?

"Pak Dem, good morning, yes!" sapaku asambil meletakkan helm, biasa titip di pot satpam.

"Morning too, Neng. Yes yes, I dengar," balas Pak Dem diiringi tawa.

"Udah beli kopi, Pak? Saya mau pesen kopi sama Mbak Dian. Bapak mau dipesenin sekalian?" tawarku sepenuh hati.

Sudah lama tidak bagi-bagi sesuatu pada hamba-hamba-Nya yang selalu berbinar tiap melihat makanan di kelasku. Terakhir, rempeyek kacang hasil rampokan. Pagi ini aku berniat membeli kopi saja. Lumayan pengusir hantu kantuk, yang konon tidak suka minuman kafein.

"Boleh emangnya, Neng?"

"Boleh banget. Tunggu di sini, ya, Pak? Bentar lagi saya balik."

Aku berjalan cepat menuju kantin. Mengambil dua kopi susu kesukaan Pak Dem--menurut penglihatan selama bersekolah di sini, sembari meninggalkan pesan di grup chat khusus kelas tercinta. Aku yakin, sebentar lagi, mereka pasti akan meramaikan kantin selama beberapa menit, lalu kembali ke ruang kelas.

Melihat tanganku dibebat, Mbak Dian menunjukkan perhatiannya. Dia menawarkan kantong plastik agar bisa dijinjing menggunakan satu tangan saja. Aku setuju. Terus terang, agak kesulitan menggenggam sesuatu dengan kondisi kaku akibat perban.

Setelah menyerahkan kopi dan berbasa-basi bersama Pak Demian terkasih, aku berjalan santai menuju ruang kelas.

Matahari baru berbagi cahaya orange pada bumi, sebagai sinyal hendak keluar. Kami benar-benar generasi kerajinan. Negara pasti akan mudah maju bila ditangani oleh orang-orang yang selalu bangun pagi. Di samping otak bekerja lebih ringan di pagi hari, mereka yang muslim sudah dipastikan melaksanakan kewajiban Subuhnya. Dengan menaruh kewajiban akhirat di atas kepala, maka dunia akan terletak di dalam genggaman. Itu yang sering Mama bilang.

Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang