Upacara bendera selesai dilaksanakan. Kali ini, tidak ada yang pura-pura pingsan atau benar-benar pingsan karena semua mata tertuju pada Frans dan antek-anteknya yang dijemur di dekat pembina upacara. Mereka tampak tidak ambil pusing soal Frans yang malah mencariku.
Terpenting, Koko tampan keturunan Chinese itu sedang menyediakan akses mudah untuk dipandang walau terlampau sulit untuk didekati.
Aku tidak peduli pada Frans, apalagi pada siswi-siswi yang memujanya. Ketika upacara selesai, aku langsung pergi ke pos satpam untuk mengambil tas bersama Ameena dan kembali ke kelas.
Mata pelajaran pertama adalah ekonomi. Bu Meirossy, guru favoritku, tidak menoleransi keterlambatan masuk kelas setelah barisan dibubarkan. Beliau sangat tepat waktu.
Amat jauh berbeda dengan guru-guru lain, yang memanfaatkan waktu lima belas menit untuk bergosip lalu lupa akan tugasnya. Sekalinya masuk di pertengahan waktu, wajah mereka akan santai dan memberikan soal-soal yang membuat kami serasa dibantai.
"Abdul tadi manis banget tahu, gak?" ucap Ameena ketika aku bertanya soal kehadiran Bu Meirossy.
"Gak, gue tanya Bu Meirossy hadir apa gak?" Aku mendengkus kesal.
"Ya, gak tahu. Gue gak lihat ke barisan guru. Mending kecengin cowok ganteng di depan," balas Ameena sambil senyum-senyum seperti orang gila.
Aku mengembuskan napas panjang. Di mana-mana semua orang sama. Lihat yang bening sedikit, matanya langsung buta. Kalau diajak bicara, kita tanya apa, mereka jawab apa. Tidak ada korelasinya sama sekali.
Terutama Ameena, dia tidak mengidolakan Frans, melainkan sahabat si Koko Krunch. Namanya Abdul kalau tidak salah. Sekelas dengan kami, tapi dinginnya minta ampun.
Ameena berfantasi jauh tentang Abdul. Dia berniat mengejar Abdul sampai jadian. Aku heran, kenapa banyak gadis menyukai tipikal cowok dingin yang sikapnya membanting semua perhatian yang dia dapatkan?
Abdul contohnya, dapat cokelat dikasih buat Frans, dapat bunga dikasih buat Mbak Dian penjaga kantin, dikasih hadiah parfum malah diberikan padaku.
Boro-boro diterima, semuanya disedekahkan. Apalagi dikasih hati, pasti Abdul tolak mentah-mentah. Namun, Ameena yakin. Abdul bersikap dingin karena enggan didekati sembarang orang. Kalau Ameena menunjukkan kegigihan, pasti Abdul akan luluh. Itu yang sering gadis itu ucapkan.
Aku jadi ragu, Ameena sahabatku apa bukan. Dia kira ini dunia wattpad apa?
"Permisi, Pak. Saya mau ambil tas yang saya titipin tadi." Aku menegur Pak Dem yang sedang merokok. Nama aslinya Demian, mirip nama salah satu pesulap Indonesia.
"Oh, jadi ini tasnya si Mbak?" Pak Dem mengangkat sebuah tas hitam.
"Bener, Pak. Maaf, tadi gak izin dulu. Buru-buru banget soalnya, takut telat upacara."
"Ya gak apa-apa, saya kira tas siapa dilempar ke sini. Takutnya ada yang iseng nyembunyiin tas temennya."
"Maaf sekali lagi, Pak."
Pak Dem menyerahkan tasku sembari melambaikan tangannya. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, asal pemiliknya yang datang mengambil. Aku mengangguk sopan, dan mengajak Ameena ke kelas.
Namun, gadis itu malah berlari ke arah Abdul yang sedang dihukum menyapu di dekat pagar bersama Frans dan yang lainnya. Di tangan Ameena ada botol minuman, masih tersegel pula. Dapat dari mana dia? Perasaan tadi tidak bawa apa-apa.
"Mbak, minuman saya mana, ya?" tanya Pak Dem bingung.
"Hah? Minumannya Pak Dem? Yang mana? " Aku terkejut, dan detik berikutnya pura-pura tidak tahu. Ameena durhaka. Masa minuman Pak Dem diembat juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]
Fiksi RemajaAku masih selembut sutra sebelum mengetahui Papaku cheating dengan guru matematika yang kemudian akan kupanggil Maung peliharaan Papa. Hingga suatu hari, aku mendengar sesuatu. Terkait kehamilan Bu Marsya, si guru matematika. "Jadi, Bu Marsya benar...