11. Bang Jack

172 16 1
                                    

"Ameena, lo tahu gak, kenapa rempeyek dibikin dari tepung sama kacang?" Aku mengukir gurat-gurat Tupperware berisi rempeyek sambil merebahkan kepala di atas meja.

"Mungkin kalau dibuat dari tepung kanji sama tepung terigu, takut berubah bentuk jadi siomay," jawab Ameena asal.

Dia tengah fokus mengerjakan tugas matematika. Entah kenapa, setiap mengerjakan sesuatu dengan wajah serius, Ameena semakin cantik. Mungkin dia titisan Dewi Sandra. Bukannya wanita yang dulu sering wara-wiri di televisi itu sangat indah dipandang mata? Seperti seorang putri raja dari negeri entah apa namanya.

"Ameena!" panggilku.

"Apaan, Surti?" jawab Ameena ngegas.

"Nama lo mirip sama anak YouTuber Indonesia. Lagian kenapa dibagus-bagusin jadi Ameena, sih? Aminah aja, kan, bisa. Sama aja artinya. Sama-sama mirip nama ibunda Nabi Muhammad juga."

"Mana gue tahu. Pas nyari nama, gue gak diajak. Coba tanya Bang Jack. Dia lahir duluan, kan? Mungkin dia tahu alasannya kenapa nama gue gak kayak ejaan disempurnakan, tapi ejaan yang sengaja diperindahkan."

"Jawaban lo bijak juga, gue jadi ngantuk."

"Tidur sono! Lo melek sepanjang siang juga gak bantuin gue ngerjain. Berisik aja yang ada!" Ameena mulai marah-marah.

Dengan ekspresi pura-pura tersakiti, aku beringsut menjauh. Fatimah Az-Zahra tidak suka diperlakukan tidak baik oleh Ameena. Oleh karena itu, sebagai balasannya aku akan merampok isi kulkas sampai tas sekolah penuh. Tipe-tipe tamu tidak tahu diri sepertiku memang mengerikan. Sudah datang tanpa diundang. Sekarang masih saja ingin mencari buah tangan.

Rumah Ameena sangat luas. Bapaknya orang Arab. Semua orang di negeri wakanda ini pasti tahu, kalau ada aroma kurma di wajah seseorang, artinya dia memiliki kekayaan yang tidak akan habis meskipun dipakai mandi setiap hari. Aku curiga, orang tua Ameena pasti menyimpan emas batangan di kamarnya. Ambil satu tidak masalah kali, ya?

"Loh, ngapain ke sini?"

Suara Bang Jack menghentikan langkahku. Ternyata sudah sampai di dapur. Pria itu tampak tengah berkutat dengan oven.

"Mau ngerampok."

"Ngawur. Balik ke depan sana. Nanti baju lo bau asap!"

"Lo yang ngawur, Zakirullah Abdul Ghafur. Dapur artis kayak gini mana mungkin berasap. Mentang-mentang punya dapur bagus, gue mau lo bodoh-bodohin."

Dia melepas sarung tangan dan menawarkan minuman. Aku pasrah saja. Toh, Bang Jack pandai membuat minuman. Selagi tidak dicampur Baygon atau arak, semua pasti aku minum. Walaupun masih kecewa dengan Papa, aku masih pintar. Bunuh diri memang menggiurkan, tapi balasannya tidak main-main. Kalau mendekati api saja masih takut terbakar, masa sanggup membuat diri sendiri kekal di neraka.

Napasku terasa sesak. Ada sisa-sisa amarah menggumpal di dalam dada. Namun, aku tidak meluapkan semuanya kepada Papa dan Mama. Percuma saja. Ketika sudah lelah berkoar-koar sampai mulut berbusa, seseorang yang sudah terlanjur selingkuh tidak akan pernah berubah, kecuali dia ketahuan dan tidak punya pilihan selain meninggalkan selingkuhannya atau si wanita maung itu memilih menyerah dengan keadaan.

Itu saja tidak menjamin Papa akan berhenti menyakiti Mama. Apa Papa tidak takut, suatu hari nanti, anak gadis satu-satunya yang ia miliki akan merasakan hal yang sama? Menikah dengan seseorang yang aku cinta, tapi kemudian merasakan pahitnya berumah tangga, seperti Mama. Aku tidak yakin Papa akan menyadari kesalahannya di masa lalu kalau itu benar-benar terjadi padaku. Dia pasti akan marah dan menghajar orang yang menyakitiku, seolah-olah di masa sekarang, Papa selalu menjaga dan memastikan kebahagiaanku.

Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang