1. Papa Cheating

997 37 0
                                    

Di pagi minggu yang cerah ini, skincare-ku menunjukkan tanda-tanda kritis, artinya aku harus mengeluarkan tenaga dalam untuk pergi ke Mall dan menyiapkan catatan kecil berisi barang apa saja yang harus kubeli.

Walau terlihat pelit, itu cukup efektif untuk tidak membuang-buang uang demi barang yang belum tentu kupakai. Terkadang, sampai barangnya hilang pun belum tentu pernah aku gunakan.

Kalau kalian bertanya, skincare apa yang aku pakai, sebenarnya tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah. Merek Skarlet dengan pembelian satu paket lengkap.

Sejak duduk di bangku SMA--dan sekarang kelas tiga, aku lebih sering terpapar sinar matahari. Bukan masalah takut hitam, tapi wajahku jadi lebih tua dan sering dehidrasi.

Perjalanan menuju mall terbesar di Jakarta tidak terlalu jauh. Aku tidak mengeluarkan scoopy kesayangan, takut dia lelah menghadapi kejamnya ibu kota yang melebihi seorang ibu tiri.

Jadi, aku lebih memilih menggunakan go-kar. Selain bisa menambah penghasilan bapak-bapak berjiwa superhero, aku pun lebih santai karena tak perlu repot-repot mencari tempat parkir.

Bahasa halusnya, parkir adalah salah satu kegiatan yang tidak aku sukai. Kalau bahasa kasar, jangan. Barangkali, ada adik-adik di bawah umur yang membaca cerita ini. Dosaku jadi bertambah banyak karena mengajarkan hal tidak baik. Maafkan Kakak, ya, Bocah-bocah.

Ponsel yang berada di tas selempangku bergetar. Tidak biasanya pagi-pagi ada yang menelepon. Kalau bukan Papa, berarti Mama.

Aku menepi sejenak agar tidak menghalangi jalan, lalu merogoh tas untuk mengambil benda yang berjasa melancarkan komunikasi orang-orang. Angkat topi untukmu, Kakek Martin Cooper dan kawan-kawan.

"Assalamualaikum, Mamaku yang cantik bak Zulaikha. Aku baru aja ke luar udah dicariin aja. Mama kangen, ya?" sapaku tanpa mengecilkan suara.

"Waalaikumsalam, anakku yang manisnya melebihi Priyanka Chopra. Tebak, deh, Mama habis ngapain!"

"Habis ketemu Uda-uda? Uni-uni?" tebakku asal.

"Ck, bukan!" Mama menyahut setengah berteriak. "Mama habis dapetin tas Chenel limited edition! Ya ampun! Mama dapat dua, Dek! Dua!"

Teriakan Mama membuatku terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. Suaranya melengking tinggi bak naga kehilangan pasangan.

"Ya Allah, Mama. Kirain ada apa. Mama belanja tas lagi? Itu yang di lemari tas Mama masih bisa dipakai, loh."

"Gampanglah itu. Bisa Mama kasihkan ke Mbak Ute sama orang lain. Duh, yang penting Mama bahagia banget sekarang. Udah dulu, ya? Mama mau nimang-nimang adik kamu dulu. Bye, Dek! Assalamualaikum!"

"Ogah punya adik benda mati. Waalaikumsalam!"

Usai merebahkan kembali bulu kuduk yang merinding. Aku berjalan lurus ke depan tanpa melihat ke kiri dan kanan, bahkan tidak berhenti walau dipanggil-panggil oleh para sales.

Brosur yang diangsurkan langsung aku jauhi. Soalnya, saat tangan sudah terulur ke depan untuk mengambil, para sales akan menarik dengan brutal dan menguji coba produk mereka ke tangan. Mengerikan, aku sampai trauma.

Senyumku mengembang sempurna saat tiba di toko langganan. Pemiliknya sedang tidak ada, tapi para pegawai sudah mengenaliku dengan baik. Pelanggan imut, katanya.

Padahal, kalau dipikir-pikir, aku tidaklah layak menyandang pujian imut. Tinggiku sekitar 157, berat badan 40 kilogram, dan memiliki kulit sawo matang. Sebagai pelengkap, ada kacamata minus bertengger di batang hidung dan gigi kelinci yang kadang lebih sering aku sembunyikan.

Usai beramah tamah, aku ke luar sembari menenteng belanjaan berupa satu paket produk skincare kebanggaan. Tujuan aku memakai skincare itu bukan untuk memutihkan kulit, tapi hanya membersihkan dan memberi nutrisi saja.

Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang