Mataku menatap lurus ke depan, berusaha melubangi papan tulis baru yang berhasil didapatkan Muhammad dari kepala sekolah. Rumus-rumus matematika yang tertulis di sana berubah menjadi tulisan penuh penghinaan yang aku dapatkan tadi pagi.
Senyum sinisku tercetak lagi. Entah, sudah berapa kali aku bersikap seperti ini. Yang jelas, aku sedang berusaha menelanjangi kebusukan wanita yang sedang menerangkan materi dengan suara lembutnya.
Bu Marsya masuk di jam terakhir. Aku nyaris lupa hari ini ada pelajaran Matematika. Andai tahu lebih awal, mungkin aku akan memilih pulang saja.
Bolos sehari tidak membuat Fatimah Az-Zahra semakin bodoh. Lagipula, bodoh di pelajaran yang dipegang oleh maung sepertinya tidak masalah. Memangnya apa yang bisa dibanggakan seorang guru, yang sudah ketahuan selingkuh bersama papa dari anak didiknya sendiri?
Melihat sikap lemah lembutnya saja, perutku bergolak. Lalu timbul keinginan untuk muntah di wajahnya.
Masalahnya, kalau sampai itu terjadi, setan manapun pasti akan tertawa terbahak-bahak seraya bertepuk tangan. Manusia bersifat setan pun pasti melakukan hal serupa. Sayang, nama Fatimah Az-Zahra tidak layak untuk disandang olehku, bila melakukan hal sekeji itu. Beda dengan maungnya Papa, dia sanggup melakukan apa saja demi menggaet Papa dari Mama.
"Zahra, kenapa melihat saya seperti itu? Apa ada pertanyaan yang mau kamu tanyakan?" Bu Marsya tersenyum lembut, seolah tak ada masalah di antara kami.
"Pertanyaan?" beoku, lalu tersenyum lebar. "Gak, sih, Bu. Kalau pertanyaan yang gak ada hubungannya sama materi hari ini, sih, ada."
Bu Marsya terdiam selama beberapa detik. "Pertanyaan apa? Boleh saya tahu?"
"Boleh, dong. Masih soal matematika, kok, Bu!" Aku semakin kesenangan. "Misal, nih, dalam satu rumah, ada tiga anggota keluarga. Kepala keluarga, ibu, sama satu anak. Satu aja, Bu. Gak banyak. Kalau kebanyakan nanti malah rebutan warisan. Nah, jadi pas anak ini lahir, semua aset orang tuanya jadi milik dia. Nama dia semua, Bu. Terus, tiba-tiba, papanya selingkuh. Terus, mau punya anak juga dari selingkuhannya. Pertanyaan saya, anak dari si selingkuhan itu dapat apa? Nol, kan?"
Wajah Bu Marsya mendadak putih pucat. Warnanya semakin hijau lalu berganti merah kelam saat mendengar tawa teman-teman sekelasku.
Bagi seorang korban, melihat si predator tengah mengalami kesulitan merupakan hal paling membahagiakan. Euforia seolah meletup-letup di dalam dada.
Ameena saja sampai ngakak hebat meskipun tak tahu apa-apa. Selera humor dia memang payah, sih.
"Lo dapat ide dari mana, sih? Jarang-jarang nanya, sekalinya bunyi malah bikin orang sakit perut."
"Ya ampun, My Future Wife Zahra. Koko jadi makin gemes, deh, sama kamu. Pertanyaannya ada-ada aja!" Frans menyeru dari bangku belakang.
"Muhammad gak suka, ya, kalau Koko Krunch teriak-teriak di depan guru secantik Bu Marsya." Muhammad menyela. "Zahra yang makin siang makin kusam, Muhammad salut sama keenceran otak Zahra. Saking encernya, bensin oplosan aja kalah!"
Aku tertawa mendengar celetukan mereka berdua. "Bensin oplosan lo samain sama gue."
Mereka kira aku sedang bercanda. Padahal, itu memang murni pertanyaan yang dikawinkan dengan peringatan. Dibuahi oleh suasana, lalu terbentuk menjadi zigot berupa rasa bahagia yang memayungi hatiku serta rasa malu yang sedang diterima Bu Marsya.
Ternyata, mempermainkan seseorang sebahagia ini. Pantas saja, Papa betah membuat Mama menjadi wanita paling bodoh yang pernah hidup di dunia.
"Sudah, sudah, jangan ribut lagi!" Bu Marsya menengahi. "Zahra, terkait pertanyaan kamu. Tentu saja anak dari selingkuhan itu tidak mendapatkan apapun, tapi kalau masih ada bagian yang belum diatasnamakan anak pertamanya, berarti masih ada sisa. Oke, kita lanjut ke materi dulu sebelum waktu habis!"
![](https://img.wattpad.com/cover/302275194-288-k636331.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]
Fiksi RemajaAku masih selembut sutra sebelum mengetahui Papaku cheating dengan guru matematika yang kemudian akan kupanggil Maung peliharaan Papa. Hingga suatu hari, aku mendengar sesuatu. Terkait kehamilan Bu Marsya, si guru matematika. "Jadi, Bu Marsya benar...