27. Pergi

294 23 8
                                    

Dokter Rusli mengundang psikiater, tapi aku tetap diam. Enggan berbicara. Berkali-kali psikiater itu datang, aku tetap bungkam.

Di hari ke tujuh aku berada di rumah sakit, Dokter Rusli mengizinkanku pulang. Akan tetapi, sampai siang tak ada yang menjemput.

Mama tiba lima belas menit sebelum azan Asar berkumandang. Alasannya membuatku berang. Mereka semua ikut menemani maung Papa periksa kandungan.

"Tuh anak, belum lahir aja udah bikin gue benci setengah mati!" desisku kesal.

Tubuh cantik Mama semakin berenergi. Mama ikut bahagia. Sebentar lagi mereka mempunyai anak laki-laki. Si pewaris tahta, kurasa.

Tangannya begitu cepat membereskan barang-barang. Tak sampai sepuluh menit, ia mampu menyelesaikan semuanya. Senyum Mama ceria sekali saat mengajakku kembali. Entah ke neraka atau lembah tak berudara.

Namun, ada satu hal yang aku lupakan, yaitu nasib Mbak Ute. Kata Mama, Mbak Ute tetap dipekerjakan dengan syarat tak boleh lagi berlama-lama di rumah setelah pekerjaan selesai.

Aku tertawa. Tawa sumbang yang ditunggangi oleh kebencian. Allah, dosakah aku karena membenci kedua orang tuaku? Jika benar, maka ubahlah kedinginan hati mereka agar benci ini lenyap bersama embun Subuh yang luruh disapa Surya.

Ketika aku sampai di rumah yang masih asing, memang benar tak tampak kehadiran Mbak Ute. Ini hari Minggu. Seharusnya, perempuan itu ada di sini untuk menyapu atau menyetrika pakaian.

Dengan tatapan datar kucoba bertanya pada Mama, tapi Mama mencoba mengalihkan pembicaraan. Akhirnya, aku menurut saja. Tenaga yang baru pulih ini harus kusimpan baik-baik. Ada masanya dia meledak, membuat kehancuran yang lebih besar dari sebelumnya.

Di ruang makan, Papa dan maungnya sudah menunggu. Pria itu meminta kami duduk. Pasti mau membicarakan masalah kebakaran rumah. Ah, basi!

"Duduk, Nak!" Papa tersenyum lembut.

Senyum selembut sutra itu, menjelma menjadi pisau cutter baru dibeli. Tajam, mengoyak habis kenangan indah yang pernah terukir.

"Gimana kabarnya, Zahra?" Bu Marsya bertanya sembari mengelus perutnya.

Pamer, Bund?

"Baik." Cukup baik untuk membalikkan meja beserta orang-orangnya sekalian.

"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa ngumpul lagi," ujarnya lagi.

Apa? Ngumpul? Sama siapa? Dia?

"Ya."

"Zahra, mulai sekarang panggil Bu Marsya dengan sebutan bunda, ya?" pinta Mama.

"Bunda?" beoku.

"Iya, Bunda!" tegas Mama.

Tawaku menggema memenuhi seluruh ruangan. Air di dalam gelas tampak bergetar ketika tinjuku menghantam meja. Percuma berkata-kata, ia ibarat kaca yang bisa dilempar lalu pecah seketika.

Argumenku akan patah oleh keputusan egois orang-orang dewasa. Lebih sakitnya lagi,  aku ibarat anak kambing yang tersesat di tengah sekawanan binatang buas. Agar tidak dimakan, aku harus menuruti apa kata mereka.

"Papa harap, kita semua bisa berdamai. Kejadian kemarin jadi pengingat buat kita semua. Papa sudah utus orang untuk menyelidiki penyebab kebakaran. Papa senang, kamu baik-baik saja."

Pria itu bangkit dan memamerkan kemesraan dengan istri mudanya. Tangannya melilit pinggang sang maung, tanpa memikirkan keberadaan Mama.

Anehnya, wanita itu malah tersenyum senang sambil mengusap perut Bu Marsya. Perlakuan sederhana, tapi cukup membuatku paham, bahwa sebenarnya kehadiranku hanyalah figuran.

Kita Tidak Baik-baik Saja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang