Part 1 - Dentang Jiwa

43 11 4
                                    

Detak jarum jam dinding terdengar lebih nyaring daripada sebelumnya, berarti menandakan hari mulai senyap dan menggelap. Benar saja, ternyata dewi malam sudah bertahta.

“Aarrrgghhh! Banyak sekali yang harus aku revisi.” Gerutunya di meja belajar menghadap layar komputernya.

Di bawah atap sebuah perumahan elit di Kota Semarang, malam yang cukup dingin, bintang berkelip cantik menari-nari di atas langit. Lengang, hanya ada suara-suara jangkrik di luar rumahnya yang tak lekang dimakan gelapnya malam.

Cahaya perkotaan berpendar-pendar, menambah suasana romantis bagi manusia-manusia yang memuja tenangnya kehidupan di bawah rembulan.

Seorang laki-laki duduk di meja belajarnya dengan tenang, dia adalah Nanden Dermawan, panggil saja Nanden. Seorang mahasiswa tingkat akhir dari jurusan sastra indonesia di Universitas Cendana, Kota Semarang.

Pribadi yang dingin dengan karakter yang tidak banyak bicara. Kata orang-orang sih seperti itu, tapi entah dirinya saja tidak tahu sedingin apa sikapnya itu? Walaupun dikenal sebagai orang yang dingin, tapi sejujurnya Nanden adalah orang yang sangat hangat, sehangat mentari pagi di mana semua penduduk alam semesta merindukan kehadirannya setiap hari.

Malam itu seperti biasa, Nanden menghadap layar komputernya untuk menyambung revisian yang hampir menggunung. Ah tidak! Tidak begitu banyak kok, hanya saja membuatnya sedikit stress.

“Kaya gini caranya kapan aku bisa wisuda?” keluhnya lagi dengan wajah yang mulai agak bete.

Dia tergolong mahasiswa yang telat, di usianya yang menginjak 23 tahun ini Nanden masih saja bergelut dengan revisian yang tak kunjung usai.
Melihat teman seangkatannya yang sudah menjamah dunia kerja membuat hatinya iri, sedangkan dia masih menjadi seorang mahasiswa di sini, tapi tak apa, semua itu tak menyurutkan semangatnya.
Janji tahun ini sidang, jadi bagi Nanden semua itu justru akan menjadi motivasinya untuk kembali semangat berjuang.

TING!

Ponselnya memberikan notifikasi. Nanden langsung beranjak dari tempat belajarnya, berjalan mengambil ponsel yang tengah dia charger di dekat lampu tidur itu.

“Nadira?” lirihnya saat setelah melihat layar ponselnya.

-
Isi pesan whatsapp:
“Den, sibuk ngga? Temenin aku nongkrong dong! Belum terlalu malam juga. Aku tungguin di taman kota ya? Oke, Bye.”
-

Pesan itu darinya. Nadira Dwistiyani, seorang sahabat kecilnya. Nadira adalah seorang perempuan yang sedikit feminin, iya sedikit, soalnya kadang-kadang dia tomboy juga sih, tapi di balik itu dia memiliki hati yang sangat lembut, seorang perasa, dan suka bercanda.

Dia tipe perempuan yang nyaman ketika memakai pakaian simple, tidak neko-neko seperti perempuan-perempuan sosialita kebanyakan. Walaupun begitu, dia tetap terlihat cantik dengan rambut bergelombangnya yang selalu terurai dan riasan wajah yang natural.

Biasanya Nadira hanya memakai satu jepit rambut dibagian samping kepalanya untuk menjaga supaya rambutnya tetap rapih. Ah! Cantik deh pokoknya.

Saat ini Nadira bekerja di sebuah kantor balai bahasa Jawa Tengah Kota Semarang, ya begitulah prospek kerja lulusan sarjana sastra, selain bisa jadi guru, mereka yang lulusan sastra juga bisa bergabung ke dalam perusahaan-perusahaan nasional, seperti balai bahasa yang Nadira pilih ini dan bisa juga di perpustakaan daerah.

Selain itu, bagi mereka yang sangat menyukai dunia media, di sastra Indonesia juga bisa memilih untuk menjadi jurnalistik, pembawa acara, penulis, atau pun penyunting bahasa di perusahaan-perusahaan penerbit tertentu.
Banyak juga yang menjadi peneliti sastra, wirausaha, dan masih banyak lagi. Tidak masalah, semua itu bebas, tidak ada tuntutan bagi mereka harus bekerja ini dan itu. Kembali ke selera masing-masing pribadi.

NandenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang