Part 3 - Apa yang Dia Inginkan?

8 5 0
                                    

Tak ada hari yang lebih tenang dari hari-hari di ujung minggu. Saatnya untuk bersantai bersama dengan keluarga, jalan-jalan, makan besar, atau sekedar berbincang-bincang. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Nanden. Semenjak ibunya tiada, hari-hari baginya tampak suram, tak ada keluarga yang utuh tanpa kehadiran sosok ibu.

Pagi itu Mala dan Rudi duduk santai di pendopo halaman belakang rumah, menghadap kolam ikan ditemani beberapa makanan ringan dan suguhan teh untuk mereka nikmati bersama. Masa tua yang cukup harmonis.

Tak lama, Nayla datang dengan membawa piring besar berisi buah-buahan yang sudah ia cuci, kemudian ditaruhnya tepat di depan mereka.
Melihat semua hidangan sudah siap, Nayla pun turut bergabung menikmati hari libur bersama dengan kedua orang tuanya.

“Makasih sayang,” ucap Mala, kemudian dia mengambil buah apel yang ada di depannya, “Kakak kamu ke mana?” sambungnya dengan menanyakan keberadaan Nanden.

Nayla menengok ke arah pintu, “Mmm…. Katanya sih tadi ada urusan.”

“Di hari libur kaya gini?”

Nayla mengangguk, “Ya maklum lah Bu, dia kan lagi skripsi, mungkin memang lagi ada yang harus dikerjain aja.” Ujarnya lembut sembari mengupas buah jeruk, lalu melahapnya.

Rudi turut mengangguk mendengar penjelasan Nayla, mungkin apa yang dikatakan gadis bermata cokelat itu benar juga, putranya saat ini tengah berjuang untuk mengejar ketertinggalannya. Mungkin saja dia pergi di hari libur seperti ini karena memang ada urusan yang berkaitan dengan tugas akhirnya.

Semenyebalkannya dia di mata Nanden, dia tetap orang tuanya. Di mana pun Nanden berada, Rudi tetap saja merasa cemas, tidak ada anak yang tumbuh besar di mata orang tua, mereka selamanya akan tetap menjadi anak kecil yang harus selalu diawasi.

Kembali terlintas di dalam ingatan Rudi, dua tahun yang lalu Nanden sempat putus kuliah hanya karena kesalahan dirinya. Sikapnya yang sangat egois saat itu mengakibatkan putranya kabur dari rumah dan menghentikan kuliahnya sementara. Sekarang Nanden sudah kembali, dan Rudi tak ingin jika masa itu terulang kedua kali, baginya cukup di hari itu, kali ini dia harus benar-benar mendukung putranya dengan penuh dan sungguh.

Kita kembali ke perbincangan mereka bertiga.

“Gimana Nay persiapan kamu buat masuk kuliah?” tanya Mala perhatian. Dia mulai basa-basi berbicara mengenai persiapan kuliahnya.

“Aku masih bingung Bu mau kuliah di mana, masih belum kepikiran.”

“Loohhh…. Kamu tanya-tanya dong sama kakak kamu, siapa tahu dia bisa ngasih gambaran.”

Nayla terdiam memikirkan sesuatu, bukan terdiam karena memikirkan jawaban dari apa yang Mala tanyakan, tapi dia memikirkan hal lain, seperti ada sesuatu yang membuat ingatannya mengganjal, tapi entah, apa itu?
Ah! Benar, dia lupa bahwa hari ini ada janji dengan temannya untuk pergi ke toko buku. Sial!

“Aku lupa, hari ini ada janjian ke toko buku sama temen-temen.” Ujarnya dengan ekspresi kaget.
Nayla berlari terbirit meninggalkan Mala dan Rudi di pendopo. Tingkahnya membuat mereka berdua menggelengkan kepala.

***

Lagi. Seperti buah mangga yang tampak segar dari luar, ternyata busuk di dalam. Begitulah Mala. Sesaat Nayla pergi meninggalkan mereka, Mala mulai membuka obrolan kembali dengan suaminya mengenai perkuliahan anak gadisnya itu.

Seperti biasanya, Mala selalu cerdas atau memang Rudi yang sekarang sudah terbuai oleh kata-kata manisnya. Dia mengobsesi pikiran Rudi untuk mendaftarkan Nayla kuliah ke luar negeri, tepatnya di Australia. Awalnya memang Rudi tak setuju karena Nayla adalah anak perempuan satu-satunya, dia tak ingin jauh darinya. Toh di Semarang juga banyak perguruan tinggi yang bagus-bagus.

NandenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang